Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah China yang membuang limbah plastik ke lautan. Setiap tahun kita membuang sampah plastik ke laut rata-rata 3,2 juta ton (Kemenko Maritim, 2019). Â Ekosistem terumbu karang (coral reefs) yang menjadi tempat pemijahan (spawning ground), mencari makan, asuhan, dan pembesaran berbagai jenis ikan serta biota laut lainnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Hanya sekitar 15 persen yang kualitasnya sangat baik, dan sekitar 30 persen tergolong baik. Â Selebihnya, 55 persen mengalami kerusakan berat sampai sangat berat (LIPI, 2019).
Padahal, selain sebagai habitat ikan dan beragam jenis organisme laut lainnya, ekosistem terumbu karang juga menjadi destinasi wisata bahari unggulan, melindungi pantai dari abrasi gempuran gelombang laut, sumber plasma nutfah (genetic resources), dan berbagai fungsi ekonomi -- ekologis lainnya.
Meskipun hingga 2019 tingkat penangkapan ikan laut baru mencapai 6,5 juta ton, sekitar 52% total potensi produksi lestarinya (12,54 juta ton per tahun), namun beberapa jenis stok ikan di sejumlah wilayah perairan laut, khususnya laut Jawa, Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, dan sebagian wilayah laut Arafura, telah mengalami overfishing yang bisa mengancam kelestariannya.
Reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, kawasan industri, tambak, dan berbagai kegiatan pembangunan wilayah pesisir (coastal development) lainnya yang tidak ramah lingkungan telah mengakibatkan tergerusnya (abrasi) dan tenggelamnya lahan pesisir (pantai) di sejumlah daerah, seperti Batam, Kepulauan Seribu, Semarang, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.
Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, Pemanasan Global (Global Warming) juga dapat mengancam keberlanjutan ekosistem laut beserta segenap organisme yang ada di dalamnya. Sebab, Pemanasan Global mengakibatkan meningkatnya suhu perairan laut, permukaan laut, pemasaman air laut (ocean acidification), banjir, badai, dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut lainnya.
Solusi teknikal
Maka, tantangannya adalah bagaimana kita bisa terus melakukan berbagai kegiatan pembangunan, pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services), dan industrialisasi untuk memajukan bangsa dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, dengan tetap menjaga kualitas dan keberlanjutan (sustainability) dari ekosistem alam kita.
Pembangunan berkelanjutan adalah paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup generasi saat ini, tanpa merusak atau mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan hidupnya (World Commission on Environment and Development, 1987).
Jadi, paradigma pembangunan berkelanjutan yang sudah disepakati oleh seluruh bangsa di dunia sejak KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro ini, bukan berarti kita manusia tidak boleh memanfaatkan hutan, menangkap ikan di laut, membangun kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan berbagai jenis kegiatan pembangunan lainnya.
Kita bahkan dianjurkan untuk melakukan berbagai kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mensejahterakan manusia,  tetapi tidak boleh melampaui batas-batas kemampuan planet bumi kita  (planetary boundaries) (Sach, 2015).Â
Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan dapat terwujud di suatu wilayah (Kabupten, Kota, Propinsi, Negara, atau Dunia), apabila laju pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan mansuia tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) dari wilayah tersebut.