Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kedaulatan Pangan, Mati Hidupnya Sebuah Bangsa

23 April 2018   11:27 Diperbarui: 23 April 2018   14:46 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Kompas Ekonomi

Oleh

 Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB

Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling azasi, karena sangat menentukan status gizi, kesehatan, dan kecerdasan seorang insan.  You are what you eat. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan gizi buruk akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif - a lost generation. 

Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju, sejahtera, dan berdaulat. Bahkan kelangkaan dan meroketnya harga bahan pangan acap kali menimbulkan instabilitas politik yang berujung pada pelengseran Kepala Negara, seperti yang terjadi di Haiti, Pakistan, Meksiko, Argentina, Nigeria, Mesir, dan Tunisia ketika negara-negara tersebut dilanda krisis pangan pada tahun 2008.  


Karena itu sangatlah tepat, bila Presiden RI pertama, Dr.Ir. Soekarno saat berpidato pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor pada 1952 menyampaikan pernyataan prophetic, bahwa "pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa".

Pernyataan itu kemudian terlegitimasi oleh hasil penelitian FAO (2000) yang mengungkapkan, bahwa suatu negara dengan penduduk lebih besar dari 100 juta orang, tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.

Sebagai negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia dengan lahan darat dan perairan yang subur, metinya Indonesia bukan hanya dapat membangun kedaulatan pangan nasionalnya, tetapi juga menjadi pengekspor baragam produk pangan ke seluruh dunia -- feeding the world.  

Ironisnya, alih-alih berdaulat pangan, dalam dua dekade terakhir bangsa Indonesia begitu bergantung pada pangan impor.  Kita menjadi pengimpor pangan terbesar ketiga di dunia.

Setiap tahun kita mengimpor sedikitnya 1 juta ton beras, 2 juta ton gula, 1,5 juta ton kedelai, 1,3 juta ton jagung, 10 juta ton gandum, 600.000 ekor sapi, dan 3 juta ton garam. 

Sekitar 70 persen buah-buahan yang kini beredar di pasar-pasar di seluruh Nusantara berasal dari impor.  Dan, yang lebih menyesakkan dada, negara yang memiliki potensi produksi perikanan terbesar di dunia (100 juta ton/tahun), justru sejak Juni 2016 membuka keran impor untuk semua jenis ikan. Kerugian yang ditimbulkan akibat ketergantungan kita pada bahan pangan impor pun sangat besar. Mulai dari penghamburan devisa, membunuh daya saing petani dan nelayan kita, memandulkan sektor pertanian dan kelautan-perikanan yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa, sampai gizi buruk.

Makna Kedaulatan Pangan

Menurut Undang-Undang Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh rumah tangga di wilayah NKRI yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. 

Di sini tidak disebutkan sumber bahan pangan itu berasal dari mana.  Artinya bisa diproduksi sendiri di dalam negeri atau impor.

Sementara itu, sebuah negara dikatakan memiliki kedaulatan pangan, bila pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya berasal dari produksi dalam negeri.  Dan selain itu, negara yang berdaulat di bidang pangan juga mampu secara mandiri menentukan kebijakan pangannya, dan memberikan hak bagi warga negaranya untuk menentukan sistem usaha produksi pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Oleh karenanya wujud nyata dari kedaulatan pangan di suatu negara tergambarkan pada empat kondisi.  Pertama adalah bila total produksi pangan nasional lebih besar dari pada kebutuhannya.  Kedua, semua bahan pangan (khususnya sembilan bahan pokok), dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik serta aman untuk dikonsumsi dan harga terjangkau, setiap saat dapat diakses oleh segenap rakyatnya.

Ketiga, semua produsen pangan (petani dan nelayan) hidup sejahtera.  Dan keempat, keberlanjutan (sustainability) sistem usaha produksi pangan (pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan budidaya, dan perikanan tangkap), baik luas kawasan maupun produktivitas nya terpelihara dengan baik.

Solusi teknis

Belum terwujudnya kedaulatan pangan di Nusantara yang subur bak 'zamrud di khatulistiwa' ini ditenggarai karena 'salah urus' baik pada tataran kebijakan makro (politik-ekonomi) maupun pada tataran teknis pembangunan kedaulatan pangan.

Oleh sebab itu, perlu mewujudkan kedaulatan pangan dan sekaligus menjadikan sektor pertanian, dan kelautan dan perikanan sebagai keunggulan kompetitif dan mesin pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan. 

Maka, pembangunan kedua sektor itu mesti diarahkan untuk mencapai empat tujuan: (1) menghasilkan bahan pangan beserta segenap produk hilirnya yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor, (2) meningkatkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, (3) meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan, dan (4) memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya hayati.

Pada tataran teknis, kita harus meningkatkan produksi semua bahan pangan yang bisa dihasilkan di dalam negeri secara produktif, efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Ini dapat dilaksanakan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi usaha budidaya: (1) tanaman pangan, (2) hortikultura (buah-buahan dan sayuran), (3) perkebunan, (4) tanaman obat/herbal, (5) peternakan, dan (6) perikanan. 

Tak sampai di situ, di sisi lain perlu peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan sumber daya ikan di laut maupun perairan umum darat (sungai, rawa, danau, dan waduk) secara ramah lingkungan sesuai dengan potensi produksi lestari di setiap wilayah perairan.

Dengan menggunakan bioteknologi (genetic engineering) yang ramah lingkungan, kita pun bisa membudidayakan tanaman pangan dan hortikultur, yang selama ini hanya dilakukan di darat (seperti padi, jagung, dan kedelai), di ekosistem laut.  Seperti yang telah dikerjakan di Israel, AS, dan China dalam dua dasa warsa terakhir.

Usaha budidaya tersebut harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Usaha budidaya ini harus di luar kawasan lindung. 

Oleh karenanya, program ekstensifikasi harus diprioritaskan di lahan-lahan kritis yang kini luasnya mencapai 11 juta hektare. Program food estate di Merauke dan daerah-daerah lain yang sudah dicanangkan pemerintah seyogianya cepat direalisasikan.

Dengan catatan, harus pro rakyat setempat dan ramah lingkungan. Pada saat yang sama, lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak boleh lagi dikonversi menjadi kawasan industri, pemukiman, infrastruktur dan peruntukan lainnya. Sebaliknya, harus dijadikan sebagai lumbung pangan  nasional.

Selanjutnya, setiap unit usaha keenam kelompok budidaya dan penangkapan ikan itu harus: 1) memenuhi skala ekonomi; (2) menerapkan supply-chain management system secara terintegrasi yang meliputi sub-sistem produksi, industri pasca panen (handling and processing) hingga ke pemasaran; (3) menggunakan teknologi mutakhir pada setiap rantai suplai; dan (4) mengikuti prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Mulai sekarang kita harus memperkuat dan mengembangkan industri hilir di seluruh sentra produksi pertanian dan perikanan agar kita memperoleh nilai tambah, lapangan kerja, dan multiplier effects ekonomi.

Pemerintah harus menyediakan seluruh sarana produksi perrtanian dan perikanan dengan harga relatif murah dan dalam jumlah yang mencukupi di seluruh wilayah Nusantara.

Selain mengandalkan mekanisme pasar, pemerintah juga harus menjamin pasar bagi seluruh komoditas dan produk pangan dengan harga yang menguntungkan produsen (petani dan nelayan). 

Bila harga tersebut memberatkan mayoritas konsumen, Pemerintah memberikan subsidi sesuai dengan daya beli masyarakat. Infrastruktur pertanian dan perikanan harus diperbaiki dan dibangun di setiap kawasan produksi sesuai kebutuhan wilayah. Industri alsintan (peralatan dan mesin pertanian dan perikanan) harus diperkuat dan dikembangkan. 

Diversifikasi pola konsumsi pangan pun harus terus digalakkan secara berkesinambungan. Terutama dengan mengurangi konsumsi beras dan gandum, dan secara simulatan meningkatkan konsumsi bahan pangan lokal. 

Sejak akhir 1980-an bangsa Indonesia menjadi konsumen beras tertinggi di dunia, dan saat ini mencapai 115 kg per kapita. Padahal, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 50 kg per kapita.

Supaya sehat, mestinya konsumsi beras kurang dari 60 kg perkaita (Puslitbang Gizi, 2004).  Lebih dari 90 persen asupan karbohidrat rakyat Indonesia berasal dari beras dan gandum. Hanya kurang dari 10 persen yang berasal dari jagung, sagu, umbi-umbian, sorgum, dan bahan pangan lokal lainnya.

Tingginya konsumsi beras itu ditenggarai berkorelasi langsung dengan status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia (WHO, 2014). 

Dalam dekade terakhir konsumsi terigu berasal dari gandum impor meningkat secara fenomenal.  Pada 1987 konsumsi terigu perkapita Indonesia hanya 1,05 kg; naik jadi 2,64 kg pada 1996; dan pada 2017 melonjak menjadi 24 kg.  

Implikasinya, impor gandum meledak menjadi lebih dari 12 juta ton dengan nilai US$ 2,1 milyar pada 2017.  Padahal, Indonesia memiliki keragaman sumber pangan lokal tertinggi kedua setelah Brazil, dengan potensi produksi yang luar biasa besar, yakni 77 jenis berupa tanaman sumber karbohdirat, 75 jenis sumber minyak (lemak), 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis remaph dan bumbu (Kementan, 2018).  

Berbagai jenis pangan lokal sumber karbohidrat non-beras tersebut antara lain adalah jagung, sagu, ubi kayu, ubi jalar, tales, garut, sukun, dan pisang. Semua jenis bahan pangan lokal itu juga bisa dibuat tepung, sehingga sangat berpotensi untuk menggantikan terigu berbasis gandum, yang semuanya berasal dari impor. 

Sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi produksi tanaman lokal sumber karbohidrat non-beras adalah sagu.  Dengan potensi lahan sagu 6 juta ha yang tersebar di berbagai wilayah NKRI dan porduktivitas rata-rata 30 ton tepung sagu/ha/tahun (IPB, 2018), maka bisa dihasilkan rata-rata 180 juta ton per tahun.

Padahal total kebutuhan beras nasional saat ini sekitar 30 juta ton/tahun, dan gandum 12 juta ton/tahun.  Oleh sebab itu, bila pemerintah dan rakyat serius memberantas mafia pangan serta bekerja maksimal, sejatinya Indonesia sangat mudah untuk berdaulat pangan.

Guna mengurangi konsumsi karbohidrat; kita harus dorong konsumsi ikan, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, sehingga mencapai komposisi gizi yang berimbang, sehat, dan mencerdaskan.

Hingga saat ini, konsumsi buah dan sayur rakyat Indonesia masih dari yang direkomendasikan (Kemenkes, 2010).  Rekomendasinya 73 kg/kapita/tahun, kenyataannya baru 43 kg (Kementan, 2018).

Pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas dan etos kerja para petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan melalui program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan secara sistematik dan berkesinambungan.

Solusi politik-ekonomi

Sederet jurus teknikal diatas akan berhasil, jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor pertanian, dan kelautan dan perikanan. Sedikitnya ada sembilan kebijakan politik-ekonomi untuk direalisasikan.

Pertama, menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di tanah air, baik secara langsung maupun bertahap. 

Kedua, memperbesar anggaran negara untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan perikanan. 

Ketiga, gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk, polietelin, tekstil dan produk petrokimia lainnya, ketimbang diekspor mentah seperti sekarang. 

Keempat, penyediaan permodalan (skim kredit) khusus dengan suku bunga yang lebih murah dan persyaratan lebih lunak, baik melalui lembaga perbankan maupun non-bank. Kebijakan inilah yang membuat sektor pertanian dan perikanan maju dan tangguh di Kanada, Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, Tiongkok, Australia, Thailand, Vietnamn, dan negara pertanian -- perikanan lainnya.

Kelima, penguatan dan perluasan peran BULOG sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. 

Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berminat investasi di sektor pertanian dan perikanan. 

Keenam, pencermaran lingkungan harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten. 

Ketujuh, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global serta bencana alam lainnya.

Kedelapan, penciptaan iklim usaha yang atraktif dan kondusif. 

Terakhir adalah kebijakan makro (seperti moneter, fiskal, RTRW, litbang, dan iklim investasi) yang kondusif bagi keberhasilan kinerja sektor pertanian, dan kelautan dan perikanan.  Dengan perkataan lain, sektor pangan (pertanian, dan kelautan dan perikanan) mesti kita anggap bukan sekedar sektor ekonomi, tetapi juga sektor kehidupan.

Melalui implementasi segenap kebijakan teknis dan politik-ekonomi diatas secara konsisten dan berkesinambungan, insya Allah Indonesia tidak hanya akan mampu berdaulat di bidang pangan pada 2030. Tetapi, juga bisa membantu feeding the world.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun