Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Waktu Demokrasi "Menggali Kuburnya Sendiri"

29 Juli 2019   19:45 Diperbarui: 29 Juli 2019   20:43 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: repelita.com

Setelah Sidang Istimewa tersebut, FPI menemukan formula ajaib untuk mendapat perhatian publik. "Lawan arus demokrasi dalam dinamika demokrasi itu sendiri," begitulah bunyi formula tersebut. Formula ini segera menjelma menjadi gut instinct organisasi dalam menyikapi berbagai isu. Mulai dari isu sosial sampai politik.

Dalam isu sosial, FPI sering bersikap main hakim sendiri. They took the law to their own hands. Ini dibuktikan dengan berbagai razia "tempat maksiat" yang dilakukan saat bulan puasa. Padahal, mereka hanya ormas, bukan penegak hukum yang berwenang melakukan razia tersebut. Sikap ini jelas melanggar etika demokrasi serta penghormatan terhadap private property.

Tetapi, ini belum seberapa. Bahkan, FPI juga merazia banyak hal yang dianggap "melanggar Syariat Islam". Mulai dari atribut natal di pusat-pusat perbelanjaan sampai warga yang merayakan Valentine. Padahal, ikut memeriahkan suatu perayaan yang bersifat universal adalah hak setiap orang dalam demokrasi. FPI berupaya secara koersif untuk menghentikan pelaksanaan hak tersebut. They violated democracy.

Dalam isu politik, FPI juga melakukan hal yang sama. Namun dalam skala yang jauh lebih besar. Masih ingat kasus Ahok pada tahun 2016? Ketika MUI mengeluarkan fatwa terhadap ucapan Ahok yang dipotong Buni Yani, FPI paling semangat menghakimi Gubernur Ahok sebagai penista agama. Sebuah cap yang tidak lepas dari public image Ahok sampai sekarang.

Langkah politik masif ini berujung pada pemilihan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Formula yang mereka temukan pada tahun 1998 masih bekerja di tahun 2017. Revolusi pemerintahan disruptif yang dipilih warga DKI Jakarta were overturned by anti-democratic religious sentiment. Untung saja formula ini tidak berhasil menjungkal Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 kemarin.

Masalahnya, ormas ini masih menunjukkan defiance dalam kekalahan. Mereka tidak memberikan tanda atau sinyal perubahan apapun. Formula lama masih saja diputar bagaikan radio rusak. Bahkan, juru bicara FPI menyatakan pemerintahan Jokowi sebagai "kuasa gelap yang zalim" ketika ditanya masalah perpanjangan SKT (cnnindonesia.com, 2019). Padahal, pemerintahan Jokowi dipilih secara demokratis.

FPI lahir dari demokrasi. Tetapi, arus demokrasi mereka lawan. Etika demokrasi mereka langgar. Hak warga negara ingin mereka rampas. Mandat demokratis mereka anggap tiada. Memang, sudah sepantasnya izin organisasi ini tidak diperpanjang. Demi keabadian demokrasi di negeri yang kita cintai ini.

SUMBER

Kompas.com. Diakses pada 29 Juli 2019.

tribunnews.com. Diakses pada 29 Juli 2019.

Tirto. Diakses pada 29 Juli 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun