Pecah, entah sekecil apa butiran itu berserakan. Aku tahu aku dusta, aku hina tapi aku nggak bisa nolak hati aku. Nolak, mengelak buat ketemu Rendi. Lalu Panji? Serepan?
Di rumah, Di kamarku
      Menatap langit -- langit. Tak mampu menahan air mata yang terus keluar. Kenapa aku senekad ini? Hanya karena penampilan Rendi berubah, aku jadi goyah. Panji, bisa jadi imam yang baik. Pria itu mampu mengubahku jadi lebih taat mulai dari sholat lima waktu sampai berhijab. Lalu pertunangan itu akan rusak, remuk hanya karena................
      "Pasir itu akan lepas perlahan jika digenggam terlalu erat. Seperti cinta, tak akan mampu bertahan bila dikekang, digenggam terlalu erat. Semua akan indah bila beriringan sesuai hati. Berjalan bersama tanpa paksaan."
Di rumah Panji
      "Kemarin aku nggak meeting sama siapapun tapi aku ngopi bareng Rendi. Maaf aku udah bohong. Jelita Anindya janji bakal setia, nggak ngulangin lagi. Maaf...maaf...Panji...." Masih diam sibuk menyesap kopi, pagi buta setelah subuh, aku ngegas ke rumah Panji. Dan, sampai aku ngaku...pria itu tetap bungkam. Tak terlihat marah sampai aku..."Panji, jangan marah. Sekali lagi maaf, aku sudah siap terima hukuman apapun...." sampai aku menggoyangkan kaos hitam dan menarik roti bakar yang hendak dimakannya.
      "Bisa boong juga. Aku tahu, kemarin aku juga meeting di sana," mata Panji memandangiku adem. No teriak -- teriak. Aku kelu.
      "Pasir itu akan lepas perlahan jika digenggam terlalu erat. Seperti cinta, tak akan mampu bertahan bila dikekang, digenggam terlalu erat. Semua akan indah bila beriringan sesuai hati. Berjalan bersama tanpa paksaan. Aku harap kamu ngerti? Aku mau mandi dulu lalu ngantor." Panji berdiri, aku masih terpaku. Sedalam itu cintanya, percayanya sama aku. Tapi kenapa dengan hati aku...? "Ta, kenapa masih di sini. Kamu nggak ke butik? Ohhh...mau temanin aku mandi?" Dengar celoteh itu aku langsung ketawa. "Dasar mantan playboy," Bisikku. Duarrr...ketawa bareng.
Beberapa saat kemudian....
      "Ta, ketemuan yuk. Ngopi di tempat biasa." Pesan WA dari Rendi. Duh, "Iya" apa "Nggak"
      Hatiku kudu "Iya" tapi perasaan Panji...? Duh rasanya semua fikiranku dipenuhi kata "Iya". Kalah telak dan akupun harus "Iya, Ren. Aku kesana sekarang."