Mohon tunggu...
Rizka Bayu Wirawan
Rizka Bayu Wirawan Mohon Tunggu... -

Pendidikan :\r\n-TK Mexindo Bogor (1983-1985)\r\n-SD Regina Pacis Bogor (1985-1991)\r\n-SMP Regina Pacis Bogor (1991-1994)\r\n-SMU Negeri 1 Bogor (1994-1997)\r\n-IPB-Agribisnis (1997-2001)\r\n-IPB-MPI (2007-2009)\r\n\r\nRiwayat Pekerjaan :\r\n- PT Agricon Bogor (2001-2003)\r\n- Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian (2003 - sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tol Laut Pak Jokowi : Ok, Tapi...

16 Juni 2014   17:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:31 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, masih ada dua provinsi lagi yang belum saya kunjungi, yaitu Kalimantan Utara (meskipun pernah ke Tarakan) dan Maluku Utara. Berhubung saya orangnya hitungan, di setiap provinsi saya sangat suka membanding-bandingkan harga barang, terutama makanan dan sesekali elektronik. Bukan apa-apa, uang harian dinas PNS yang terbatas harus dihemat supaya ada kelebihan yang bisa dibawa pulang ke rumah (supaya istri tersenyum ceritanya). Karenanya saya sangat senang jika dinas ke provinsi yang uang hariannya relatif besar, tetapi harga barang-barang kebutuhan pokoknya murah, seperti DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Satu hal yang saya perhatikan adalah harga barang kebutuhan pokok di suatu tempat akan murah jika infrastrukturnya baik, di samping tentunya faktor jarak dengan tempat produksinya. Ambil contoh ketika kemarin mengunjungi kota Atambua (ibukota Kabupaten Belu, NTT, perbatasan langsung dengan Timor Leste), saya mendapati harga makanan kesukaan saya, pecel ayam, sebesar Rp18.000/porsi. Atau ketika harus membeli flash disk 8 GB di sebuah toko buku kecil disana yang dibanderol Rp65.000. Saya menilai harga-harga disana masih cukup rasional dan tidak terlalu jauh berbeda dengan di Pulau Jawa (pecel ayam di Bogor Rp15.000 dan flash disk Rp50.000-60.000). "Wajarnya" harga di Atambua dimungkinkan karena meskipun waktu tempuh Kupang-Atambua sekitar 6-7 jam perjalanan darat, tetapi jalan aspalnya mulus dan transportasinya lancar sehingga arus distribusi barang juga lancar.

Sebaliknya ketika mengunjungi Papua, "harga wajar" hanya dapat kita nikmati di kota-kota yang memiliki pelabuhan utama atau akses penerbangan langsung dari kota-kota besar di Indonesia bagian barat. Sebenarnya di kota-kota utama Papua, seperti Jayapura, Sorong, Manokwari, Timika dan Merauke, kondisi pembangunannya tidak jelek-jelek amat dan harga kebutuhan pokoknyapun masih tergolong "wajar". Harga pecel ayam di Jayapura yang Rp25.000-30.000 per porsinya atau semen Rp80.000-100.000/sak menurut saya masih masuk akal jika mengingat penerbangan langsung dari Jakarta ke Jayapura memakan waktu 5,5 jam (Batik Air) atau 8 jam dengan transit (Garuda Indonesia via Denpasar dan Timika).

Yang menjadi masalah besar adalah saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah pegunungan Papua. Dan saya dengan sangat terpaksa mengatakannya sebagai "daerah pedalaman" karena memang kondisinya alamnya sulit dan infrastrukturnya minim. Sebut saja salah satu kota termaju di pegunungan Papua, Wamena. Dengan jarak hanya sekitar 200 km dari Jayapura, untuk menuju kesana kita harus menggunakan pesawat terbang karena tidak tersedia jalan darat. Dulu pernah dirintis oleh TNI AD tetapi tidak berlanjut karena beratnya medan dan gangguan keamanan. Harga tiket Hercules TNI AU dari Lanud Sentani Jayapura ke Wamena berkisar Rp500.000-700.000 sekali jalan. Dengan biaya transportasi semahal itu, wajar bila harga semen disana mencapai Rp500.000/sak. Dan menjadi lebih mahal lagi harganya di kota Mulia (ibukota Kabupaten Puncak Jaya) yang dapat mencapai Rp1.000.000/sak karena harus menempuh penerbangan lanjutan dari Wamena. "Modus operandinya" kurang lebih sama di seluruh wilayah pegunungan Papua lainnya, seperti Kabupaten Tolikara, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Lani Jaya, Dogiayai, dan Yalimo.

Karenanya saya melihat ada kekurangkomprehensifan rencana Pak Jokowi untuk membangun "Tol Laut" jika nanti terpilih sebagai Presiden RI ke-7. Menurut saya gagasan tersebut hanya memecahkan permasalahan harga kebutuhan pokok di kota-kota pesisir saja, tetapi tidak di pedalaman. Padahal isu kemerdekaan Papua justru gencar disuarakan dari kota-kota di pedalaman yang belum terlalu tersentuh pembangunan, jauh dari kontrol aparat keamanan dan akhirnya menjadi lahan subur tumbuhnya benih-benih separatisme. Bagaimana tidak minta merdeka jika harga kebutuhan pokok mahal dan masyarakatnya sulit mencari lapangan pekerjaan, sementara mereka paham betul kekayaan alamnya di Timika (konon terowongannya sudah tembus sampai ke Nabire sekitar 100 km di utaranya) habis dijarah bangsa asing.

Pada kasus Papua, jika membangun infrastruktur jalan darat (berikut listriknya) dianggap tidak ekonomis, maka harus ada alternatif infrastruktur distribusi dari kota utama ke kota pedalaman. Seperti misalnya mensubsidi penerbangan sipil atau militer karena faktanya biaya transportasi menjadi faktor utama penyebab mahalnya harga-harga kebutuhan pokok di pedalaman Papua. Harga semen di Wamena (dan kebutuhan pokok lain) tentunya tidak akan tetap bertahan mahal jika tarif penerbangan Hercules disubsidi dan frekuensi penerbangannya ditingkatkan. Memang mahal, tetapi itulah harga yang harus dibayar negara untuk mempersatukan NKRI. Jika tidak mau membangun jalan, ya paling tidak tekanlah ongkos pesawat terbangnya. Hal yang sama juga dapat dilakukan di pedalaman Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan pulau-pulau kecil yang tersebar di Kepulauan Maluku dan infrastrukturnya minim.

Saya berdoa, semoga plasmodium malaria yang masih mengalir di peredaran darah saya, jangan sampai menghalangi niat saya untuk ikut membantu memikirkan pembangunan di Papua dan Indonesia pada umumnya.......

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun