Sebentar lagi anak saya yang sulung akan memasuki usia SD, kalau untuk dia berhubung anaknya rajin dan bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, kemungkinan besar akan masuk ke SD Negeri saja. Pertama karena murah (bahkan gratis karena dana BOS Kemendiknas sedang diincar KPK he he), dan kedua, karena alokasi biaya yang seharusnya untuk membayar sekolahnya bisa digunakan untuk membiayai les2 penunjang seperti Kumon, Bahasa Inggris, Mandarin dan komputer (tergantung nanti minatnya apa).
Lain lagi dengan adik laki-lakinya yag sifatnya berbeda jauh dengan kakaknya. Mungkin ini salah satu dampak negatif menjadi “anak nenek” karena sejak kecil diasuh neneknya. Dia cenderung santai dan kurang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Oleh karena itulah saya dan istri memiliki rencana untuk menyekolahkannya di sekolah Katolik seperti yang dialami bapaknya dulu. Ini baru rencana lho, kalau nanti sikapnya berubah ya masuk sekolah negeri saja.
Kadangkala entah karena ketidaktahuan atau karena menerima informasi dari sumber yang berlebihan, banyak orang tua muslim yang khawatir bahkan antipati dengan sekolah Katolik. Alasannya jelas karena takut merusak aqidah anaknya. Kekhawatiran tersebut sangat masuk akal karena di sekolah Katolik biasanya sejak awal kita harus menandatangani surat pernyataan kesanggupan akan mengikuti pelajaran Roma Katolik, termasuk mengikuti misa di kapel dan gereja. Dulu orang tua saya menyikapi hal ini dengan memperkuat pendidikan agama Islam di rumah seperti memanggil guru ngaji. Dan saya rasa karena agama itu sesuatu yang sangat prinsip, biasanya sangat jarang seseorang menjadi murtad kecuali karena pernikahan atau desakan ekonomi atau ekstrimnya karena pemaksaan beragama dalam keadaan negara yang chaos karena didera konflik SARA.
Lepas dari semua kekhawatiran itu, ada beberapa manfaat yang sangat saya rasakan dengan sekolah di sekolah Katolik. 1. Disiplinnya tinggi karena biasanya merupakan sekolah warisan Belanda, hal ini sangat baik diterapkan sejak dini di usia SD dan SMP untuk membangun karakter disiplin anak. 2. Toleransi terhadap agama dan ras lain, meskipun murid muslim disini minoritas tetapi diperlakukan dengan baik oleh guru dan teman-temannya yang berbeda agama bahkan ras. 3. Tidak ada budaya nyontek karena kalau sampai ketahuan sanksinya keras dan mejanya pun tidak dilengkapi laci/kolong sehingga menyulitkan untuk ngolong. Saya sendiri baru pintar nyontek setelah masuk sekolah negeri he he. 4. Outputnya teruji, nilai Ebtanas, UAN dan sejenisnya biasanya menempati salah satu rangking tertinggi di kota kami, sehingga memudahkan untuk memilih jenjang pendidikan selanjutnya di sekolah favorit.
Kelemahan utama di sekolah Katolik biasanya biayanya agak mahal dan murid kurang mandiri karena semua diberikan serba lengkap di sekolah. Kesannya murid seperti “disuapin”, karena mulai dari rumus, contoh soal, PR sampai hal-hal rinci semuanya diberikan oleh guru. Berbeda dengan sekolah negeri, dimana guru biasanya hanya memberikan rumus, kemudian muridnya yang belajar dan mengembangkannya sendiri.
Bersekolah di sekolah Katolik tidak merubah saya menjadi Katolik dan sampai dengan lulus SMP (bahkan ada teman-teman saya yang sampai SMA tetap di sekolah Katolik), tidak ada teman seangkatan saya yang muslim sampai murtad atau berpindah agama. Ada untungnya juga sekolah di Katolik karena waktu membaca novel Angels and Demons-nya Dan Brown jadi cepat mengerti tentang Tahta Suci Vatikan dan struktur organisasi Kepausan he he. Kalau saya pribadi sie prinsipnya meniru maling sandal di mesjid : ambil yang bagus-bagusnya saja. Toh sudah jelas : bagimu agamamu dan bagiku agamaku