Mohon tunggu...
Muhammad Raza Pahlawan
Muhammad Raza Pahlawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - De Vrije Mensch

Anak sejarah yang pikirannya lebih banyak ke filsafat, sosiologi, psikologi, dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyelamatkan Marxisme: Perpecahan Marxisme Pasca-Marx

6 Desember 2021   17:53 Diperbarui: 6 Desember 2021   18:08 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada Revolusi Bolshevik, situasi Rusia pada saat itu adalah bangsa yang justru didominasi oleh kelompok yang bukan kelas buruh, seperti kelas tani, borjuasi, dan feodal (Magnis-Suseno, 2017). Mengutip Tamim Ansary, Marx telah menggambarkan industrialisme mengarah kepada revolusi, sedangkan Lenin beranggapan sebaliknya, yaitu revolusi akan mengarah kepada industrialisme.

 Lenin pun menghadapi teka-teki mengenai siapa yang akan memulai revolusi karena negaranya hampir tidak punya kaum proletar, hal ini yang akan mengarah pada pemahamannya bahwa revolusi itu haruslah diujungtombaki oleh partai (Ansary, 2019).

 Di lain pihak, selain pandangan marxisme-leninisme tersebut, terjadi juga konflik antara kelompok marxis ortodoks dengan sosial-demokrat. 

Perpecahan ini barangkali lebih mudah untuk kita petakan lebih lanjut, yang mana ketika perubahan tidak kian terjadi, kaum marxis terpecah menjadi empat pendapat, pendapat yang pertama sudah kita ketahui sebelumnya mengenai Lenin. 

Selain Lenin, ada Bernstein yang menurutnya Marxisme itu selayaknya teori ilmiah, mesti dilakukan "revisi" terhadapnya sesuai dengan pengetahuan baru yang memadai. 

Bagi Bernstein, transisi dari kapitalisme ke sosialisme dapat terjadi tanpa revolusi, yaitu dengan cara yang demokratis, langkah kecil demi langkah kecil seperti penguatan serikat-serikat buruh dan koperasi-koperasi. 

Hal ini berkaitan dalam kesamaan pendapat antara Lenin dan Bernstein bahwa kaum buruh sendiri tidak revolusioner, beda pada keduanya adalah Bernstein melepaskan keniscayaan revolusi, sedangkan Lenin justru memperjuangkannya lewat partai yang akan memimpin (Magnis-Suseno, 2017).

Bagi kelompok "revisionis" Bernstein, reformasi di dalam masyarakat mungkin untuk dilakukan, melihat juga bahwa tidak terjadi kebangkrutan kapitalisme dengan sendirinya, apalagi jika dilihat bagaimana krisis-krisis di dalam kapitalisme bukannya semakin sering tetapi malah semakin jarang terjadi (Gombert, dkk, 2016). 

Cara ini ditentang oleh Lenin dan dua sisanya, yang mana pada pendapat kedua terdapat Karl Kautsky, marxis ortodoks yang beranggapan bahwa revolusi sosialis adalah keniscayaan akibat kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme, tetapi menolak segala usaha revolusioner sebelum kapitalisme memasuki tahap matang. 

Pendapat Kautsky ini sekiranya didukung Rosa Luxemburg yang akan tetapi mencela keras penolakannya terhadap usaha revolusioner buruh, karena baginya kesadaran revolusioner adalah hasil pengalaman perjuangan mereka (Magnis-Suseno, 2017). 

Rosa juga menolak Bernstein karena menurutnya kapitalisme tunduk pada kontinuitas persaingan para pemilik modal akibat struktur internalnya, lebih lanjut lagi menurutnya reformasi sosial dan revolusi sosial adalah dua hal yang tak dapat terpisahkan, yang mana perjuangan reformasi sosial adalah alat, namun perubahan sosial secara total merupakan tujuan (Luxemburg dalam Gombert, dkk, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun