Karena faktanya masih banyak banget tantangan nyata di dunia kerja buat perempuan.
- Hanya 6 dari 10 perempuan yang bekerja, dibanding 10 dari 10 laki-laki (ILO, 2018)
- 98,5% dari 200 perempuan yang sedang break karier ingin kembali bekerja, tapi sering bingung mulai dari mana (IBCWE, 2023)
Realita yang Masih Jauh dari Setara
Waktu sesi pemaparan materi dari Dr. Dra. Trias Setiawati, M.Si., Kepala Pusat Studi Gender UII, rasanya semakin semangat untuk membawa perubahan. Ternyata semua keresahan yang selama ini aku pikir cuma aku yang rasain itu nyata. Itu sistemik. Itu terjadi di mana-mana.
Beliau memaparkan data yang jujur aja nggak gampang ditelan:
Perempuan sekarang sudah mendekati 48% dari total tenaga kerja global, tapi,
- Cuma 33% posisi manajerial yang diisi perempuan
- Dan hanya 24% yang duduk di kursi kepemimpinan senior
- 70% pekerjaan paruh waktu dipegang perempuan, bukan karena pilihan, tapi karena sistem belum cukup fleksibel
- 50% perempuan muda merasa suaranya nggak dianggap dalam rapat
- 60% mengalami mikroagresi: dari interupsi, hingga komentar seksis yang dibungkus "candaan"
Dan ini bukan cuma bikin frustrasi. Tapi juga mengikis satu hal penting: Kepercayaan diri. Confidence gap is real. Ini bukan tentang "perasaanku aja kali ya?" Ini tentang sistem yang secara struktural dan budaya masih meminggirkan perempuan.
Ketidakadilan Gender Itu Nyata
Ini bukan hanya soal gaji atau jabatan. Tapi soal mindset yang diwariskan turun-temurun. Gender yang katanya "kodrat", sebenarnya hanyalah konstruksi budaya.
Kita diajarkan sejak kecil bahwa:
Anak perempuan harus lembut, emosional, suka masak-masakan, tugas domestik.