Mohon tunggu...
ErmaQiz
ErmaQiz Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Bebas

Cerpen, Puisi dan Quote

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menghantarmu Menuju Hari Esok

13 Juli 2020   14:14 Diperbarui: 13 Juli 2020   14:12 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap diawal pembukaan kuota jalur baru, kulihat anakku begitu antusias. Log in ke web ppdb, dari mulai jalur zonasi, yang akhirnya namanya harus tertolak karena faktor usianya terkalahkan oleh anak-anak yang usianya lebih tua. Begitupun saat pendaftaran jalur prestasi, dia harus kembali menyerah karena namanya tergeser jauh dan terdepak kembali terkalahkan dengan nilai-nilai yang lebih tinggi, penilaian ini karena adanya faktor akreditasi sekolah yang menjadi penentu, sedang akreditasi sekolah anakku tergolong lebih rendah bila dibandingkan sekolah swasta.

"Di RW kita tidak ada SMA Negeri mah, "katanya dengan nada kecewa saat kembali mengikuti jalur bina RW. Menurutku aturan bina RW ini terlalu sempit karena hampir jarang tiap RW terdapat SMA Negeri khan ?
Begitupun saat berada di jalur tahap akhir ," Yah, terlempar lagi mah!"begitu nada kecewanya seperti hari-hari sebelumnya.

Aku yang menemaninya rasanya juga sudah kehilangan harapan. Dan bukan hanya anakku saja tetapi juga anak dari  teman-temanku yang sudah mulai jenuh dan hilang harapan. Pasti terlempar lagi! Begitupun komentar orang tua yang terlihat di group-group whatshap tampak cemas dan kecewa. Bahkan beberapa teman anakku akhirnya harus memilih sekolah kejuruan demi untuk mendapatkan embel-embel Sekolah Negeri agar mendapatkan kesempatan untuk bersekolah gratis. Padahal sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan/bakat dan harapan si anak sebelumnya. Karena bagi mereka tidak ada pilihan lagi, tetap sekolah gratis atau tidak, bisa jadi si anak berhenti dulu tahun ini untuk menunggu penerimaan siswa baru tahun berikutnya (asal aturan tidak berubah lagi tentunya). Yah apa mau dikata dengan kondisi perekonomian seperti  sekarang ini banyak para orang tua yang kehilangan pekerjaan baik karena phk ataupun tutupnya usaha mereka. "Sudah sekolah swasta saja!" Begitu saran orang-orang yang tidak terlibat langsung menghadapi kondisi ini. Kalau sekedar berkata-kata memang mudah, tetapi untuk bersekolah swasta memang tidak menggunakan biaya?

Apalagi bisa dibayangkan berapa mahalnya harga sekolah swasta di Jakarta. Dan kalau dibilang ada rupa ada harga pasti peribahasa ini bisa menggambarkan bagaimana kerisauan hati orang tua tentang masalah pergaulan anak-anak mereka selama tiga tahun kedepan.  Lalu dengan kondisi seperti ini, siapakah yang sebenarnya lebih diuntungkan dari sebuah kebijakan?

"Yah sudahlah kita cari sekolah swasta saja,"kataku menghiburnya.

Akhirnya diapun mengikuti proses pendaftaran dan ujian daring disebuah sekolah swasta di Jakarta, hingga akhirnya dia diterima  di sekolah itu. Dan seminggu  lalu aku mengantarnya kesana.
Aku dengar dia sempat mengucap kalimat, "Akhirnya aku harus sekolah disini." Suaranya terdengar agak kecewa.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Aku tidak pernah bermimpi untuk sekolah disini," jawabnya singkat.
"Tidak semua yang kita harapkan selalu terwujud," hiburku.
"Tapi tidak semua daerah menetapkan usia sebagai acuan!"protesnya, "Itu sungguh tidak adil!Teman- temanku yang di Jabar atau daerah lain, lancar-lancar saja ," protesnya lagi.
"Anggap saja ini adalah langkah awal
ujian yang harus kamu hadapi," kataku.
"Maksud mama?"tanyanya.
"Dalam hidup akan ada banyak hal yang tidak bisa ditebak, bisa jadi ada kebahagiaan tetapi bisa juga akan ada ketidakadilan yang akan kamu hadapi suatu hari nanti," aku mencoba menasehatinya.
"Ya, kalo ada ketidakadilan kita bisa protes khan mah? Bisa bikin petisi untuk menggalang tanda tangan, bukankah biasanya begitu?" Jelas anakku penuh semangat khas jiwa anak-anak milenial.
"Memang segala hal bisa diupayakan, dan itu harus selama kamu merasa yakin dan benar !"jawabku berusaha untuk tidak  mematahkan semangatnya.
"Tapi bila pada akhirnya suatu keputusan tidak dapat diubah? Maka kita akan harus ikut suara terbanyak. Mau tidak mau pada akhirnya kita harus menghormati sebuah kebijakan yang berlaku," lanjutku memberinya pengertian.

Dan bisa dibayangkan diskusi panjangpun antara aku dan anakku terus bergulir, semangatnya kuakui luar biasa dengan berbagai argumen sebagai ide dan cara pikir anak-anak milenial, calon penerus bangsa ini. Hingga akhirnya sampailah pada satu titik yang mau tidak mau, seseorang atau siapapun harus bisa menerima dengan besar hati suatu kebijakan itu.
Bagaimanapun juga sakit dan kecewa pasti akan kita temui dalam hidup ini, itulah yang disebut perjuangan hidup. Setiap perjuangan pastilah berat. Justru semua itulah yang akan menjadikan mentalmu bertumbuh lebih kuat bahkan lebih bijak, dan itulah yang membedakanmu dengan orang lain, yang tidak pernah mengalami apapun.
Mungkin ini satu cara Tuhan yang hendak mengajarkanmu untuk menjadi pribadi yang lebih kuat anak-anakku angkatan covid19 th 2020!
Tetaplah bersemangat karena sedih dan bahagia akan bergantian mengiringi perjalanan hidupmu. Semua kesedihan dan kegagalanmu hari ini semoga dapat menjadi pemicu untuk menjemput  masa depanmu yang lebih baik dan sukses!Dimanapun akhirnya kamu melanjutkan pendidikanmu saat ini di sekolah negeri atau swasta entah itu pilihanmu ataupun bukan, jurusan yang terpaksa telah kamu ambil, jadikan semua itu sebagai tanggungjawab pilihanmu untuk menyambut masa depanmu. Karena kesuksesan bukan hanya ditentukan oleh nilai akademik, tapi juga mental pembentukmu!
TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun