Mohon tunggu...
Ratna Winarti
Ratna Winarti Mohon Tunggu... Penulis - Students who don't want to disappear from civilization

Just writing rather than silence!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946)

19 Januari 2021   17:49 Diperbarui: 19 Januari 2021   18:15 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jepang menerapkan sebuah kebijakan anti-Barat, baik itu dalam budaya, Pendidikan, dan peraturan yang lainnya. Struktur lapisan masyarakat juga mengalami perubahan begitu pula dengan masyarakat Surabaya, dimana lapisan pertama ditempati oleh orang Jepang, kedua orang-orang Indonesia, dan lapisan ketika ditempati oleh etnis lain seperti Belanda, Tionghoa dan yang lainnya. Namun, hal itu juga pada akhirnya menjadikan banyak konflik yang terjadi di Surabaya selama kependudukan Jepang, baik yang menyangkut urusan Pribumi maupun dengan orang- orang Belanda dan Indonesia.

Kondisi etnis Tionghoa pada masa kemerdekaan mengalami perubahan dengan adanya perpecahan yang terjadi diantara golongan mereka. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan dukungan dimana ada pendukung republik dan ada yang anti republik. Namun, disisi lain para komunitas Tionghoa yang lam abangkit kembali bahkan mereka memberikan sebuah pelayanan medis bagi korban-korban perang termasuk kaum pribumi pada masa setelah kemerdekaan itu. Perjuangan besar para etnis Tionghoa ini patut diperhitungkan di Indonesia. Nmaun, terkadang mereka masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan bahkan menyebabkan kontroversi.

Selain memberikan penjelasan mengenai etnis Tionghoa secara khusus di Surabaya, dalam buku ini juga dijelaskan ada peristiwa rasial lain yang masih berkaitan dengan etnis Tionghoa. Yaitu peristiwa Bnadung 1963 terdapat kejadian kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa yang besar di daerah Jawa Barat. Peristiwa itu bermula ketika ada keributan di Kampus ITB antara golongan mahasiswa pribumi dengan mahasiswa non-pribumi. Namun, keributan justru menjadi sebuah kerusuhan besar yang merambat keberbagai kota diantara kota Yogyakarta, Malang, Surabaya dan Malang.

 Peristiwa di kota Pekalongan pada 31 Desember 1972 dimana terjadi sebuah kributan antara orang- orang etnis Arab dengan peranakan Tionghoa. Dimana hal itu bermula ketika adanya perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda dari golongan etnis Tionghoa yang berujung bada keributan pada saat prosesi pemakaman berlangsung.

Sedangkan di kota Meda terjadi pula kerusuhan pada tanggal 12 April 1980 dimana sekolompok mahasiswa dari USU bersepeda mengeliling kota sambal mengembor-gemborkan anti suku peranakan Tionghoa , yang akhirnya berdampak pada kerusuhan yang terjadi akibat pihak Tionghoa merasa di diskriminasi. Selanjutnya kejadian kerusuhan itu juga ada di Surabaya pada tanggal 12 April 1980 yang bermula dari adanya pembantu rumah tangga yang dianiaya oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Akhirnya kejadian tersebut memicu sebuah kemarahan masyarakat Surabaya, mereka bergerak dengan melakukan pelemparan batu di mobil dan toko-toko milik orang Tionghoa.

Bab III (Masyarakat Tionghoa di Surabaya)

Pada bab ketiga ini memberikan penjelasan mengenai bagaimana etnis Tionghoa bisa muncul dan berkembang di Surabaya, mulai dari kedatangannya, kebudayaan dan kehidupan sosial mereka. Selain itu juga menjelaskan tentang perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan ragam stratifikasi sosial, agama dan kepercayaan, organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa, jenis-jenis pekerjaan, dan para pemimpin komunitas Tionghoa.

Meskipun belum diketahui secara jelas pada tahun berapa mereka datang ke Surabaya, namun berdasrkan bukti-bukti sejarah yang sudah ada menunjukkan adanya sebuah pemukiman yang dijadikan tempat berdomisili orang-orang Tionghoa di Jawa Timur selama berabad-abad yang lalu. Jauh ketika Surabaya masih menjadi bagian kerajaan, orang-orang etnis Tionghoa sudah ada dan menjadi bagian penduduk di Surabaya. Mereka memiliki ciri fisik yang sangat menonjol dan berbeda dari yang lain sehingga dengan mudah dikenali. Namun, etnis Tionghoa yang datang ke Surabaya itu terdiri dari beberapa golongan suku yang berbeda. 

Sedikitnya ada empat suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Surabaya yang masuk dalam daftar sensus Pemerintah Hindia Belanda pada 1930, yaitu suku Hokkian, Hakka, Teo-Chiu, dan Kwang Fu.

Pada migrasi etnis Tionghoa gelombang pertama di abad ke-14 mayoritas beragama Islam, namun pada gelombang kedua abad ke-20 mayoritas mereka penganut Kong HuChu, Taoisme, Budha dan Kristen. Meskipun begitu secara mayoritas orang-orang Tionghoa yang berada di Surabaya mereka menganut Kong Hu Cu, Taoisme dan Budha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, dan ajaran Tridharma. Selain itu mereka juga mendirikan sebuah perkumpulan yang mencakup Sebagian orang-orang Tionghod di Surabaya yaitu Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Joe Tik Hwee Koan, Tiong Hoa Ja Hak Hwee, Hoo Hap, dan Gie Hoo.

 Salah satu organisasi mereka THHK yang pembentukannya sebagai akibat nasionalisme Tiongkok dan nantinya organisasi ini berkembang begitu pesat yang akhirnya pemerintahan kolonial merasa cemas dengan kehadiran organisasi tersebut. THHK pula yang telah melahirkan sekolah khusus bagi anak-anak keturunan Tionghoa yang saat itu tidak mendapatkan perhatian dari pihak kolonial Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun