Ada momen-momen dalam hidup yang tak bisa digantikan oleh apa pun. Seperti saat pertama kali mendengar adzan Subuh di awal Ramadhan. Sunyi malam yang perlahan berganti fajar, dan di sela-sela kantuk, ada bisikan lembut di hati: Inilah panggilan-Nya. Bangun, tunaikan ibadahmu.
Namun, zaman terus bergerak. Seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir, perubahan datang, kadang perlahan, kadang menghantam deras. Kini, di era digital yang begitu cepat, kita hidup di tengah gempuran teknologi yang tak pernah tidur. Setiap detik, algoritma bekerja, data diproses, dan kecerdasan buatan---AI, atau Artificial Intelligence---menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari kita.
Lantas, di bulan suci ini, muncul sebuah pertanyaan yang jauh lebih besar dari sekadar teknologi: Bisakah AI mendekatkan manusia dengan Tuhannya?
1. Teknologi dan Spiritualitas: Sebuah Dilema Modern
Profesor Sherry Turkle, seorang pakar dari MIT yang terkenal dengan bukunya Alone Together, pernah berkata bahwa teknologi, alih-alih membuat kita lebih terhubung, justru sering membuat kita terasing. Dalam dunia yang terus-menerus terhubung secara digital, banyak orang merasa lebih kesepian dari sebelumnya.
Namun, Ramadhan memiliki keajaiban yang berbeda. Ini adalah bulan untuk kembali kepada diri sendiri, untuk menyatu dengan kesunyian, meresapi makna ibadah yang sejati. Lalu, bagaimana jika teknologi---yang sering kali dianggap mengganggu---justru menjadi wasilah (perantara) untuk mendekatkan kita kepada-Nya?
Di sinilah kecerdasan buatan menemukan tempatnya. Bukan sebagai pengganggu, tapi sebagai sahabat yang membisikkan pengingat-pengingat kecil tentang ibadah.
2. AI Sebagai Pengingat Ibadah: Sebuah Inovasi yang Tak Terduga
Mari kita mulai dari hal yang sederhana. Sebuah aplikasi yang mengingatkan waktu shalat, mengirimkan notifikasi saat adzan berkumandang. Mungkin terdengar biasa. Tapi di tengah kesibukan dunia modern, di mana waktu sering terasa terlalu cepat, notifikasi kecil ini bisa menjadi pengingat besar untuk kembali menundukkan hati.
Dr. Jonathan Haidt, seorang psikolog sosial, dalam bukunya The Righteous Mind menyebutkan bahwa kebiasaan spiritual sering kali diperkuat oleh ritual yang konsisten. Di sinilah teknologi memiliki peran. AI bisa membantu membangun rutinitas ibadah yang konsisten---mulai dari jadwal membaca Al-Qur'an hingga pengingat untuk berdzikir setelah shalat.
Bahkan lebih dari itu, ada teknologi berbasis AI yang mampu membantu memperbaiki bacaan Al-Qur'an. Aplikasi seperti Tarteel AI menggunakan kecerdasan buatan untuk mendeteksi kesalahan dalam pelafalan. Seolah-olah ada guru yang sabar menuntun di setiap huruf yang dilafalkan.