Integrasi Nilai-Nilai Tri Hita Karana dalam Tata Ruang Wilayah dan Kurikulum Pendidikan: Upaya Harmonisasi Budaya dan Ilmu Pengetahuan
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, salah satunya adalah kearifan lokal Bali yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana (THK). Secara harfiah, THK berarti "tiga penyebab kebahagiaan" yang meliputi keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan). Filosofi ini tidak hanya relevan untuk menjaga keseimbangan hidup masyarakat Bali, tetapi juga dapat diimplementasikan dalam pembangunan wilayah serta diintegrasikan dalam dunia pendidikan, khususnya kurikulum sekolah.
Perkembangan zaman dan modernisasi sering kali menggeser nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, THK memiliki potensi besar sebagai landasan etis dalam pembangunan tata ruang maupun sebagai pedoman pembentukan karakter peserta didik. Dalam tata ruang, THK mendorong terciptanya desain ruang yang memperhatikan nilai spiritual, sosial, dan ekologis. Dalam pendidikan, THK memberikan arah bagaimana pembelajaran tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga sarana membangun karakter dan kesadaran ekologis peserta didik. Namun, integrasi ini masih menghadapi tantangan dalam praktik, terutama terkait bagaimana mengadaptasikan nilai-nilai lokal ke dalam kurikulum modern yang berbasis kompetensi.
Implementasi Tri Hita Karana dalam Tata Ruang Wilayah
Konsep Tri Hita Karana tidak hanya menjadi dasar dalam kehidupan sosial masyarakat Bali, tetapi juga terimplementasi secara nyata dalam arsitektur tradisional, tata ruang desa, hingga penataan lingkungan. Implementasi ini tercermin dalam beberapa prinsip tata ruang yang bersifat filosofis sekaligus praktis, yaitu:
- Tri Angga
Prinsip Tri Angga membagi ruang ke dalam tiga bagian: kepala (utama), badan (madya), dan kaki (nista). Dalam tata ruang, pembagian ini mengarahkan pada hierarki fungsi ruang---misalnya, area suci untuk kegiatan keagamaan berada di posisi utama, area permukiman di posisi madya, dan area utilitas atau pertanian di posisi nista. Prinsip ini mencerminkan hubungan harmonis antara dimensi spiritual, sosial, dan material.
- Tri Mandala
Konsep Tri Mandala membagi ruang berdasarkan tingkat kesakralan: utama mandala (paling suci), madya mandala (ruang tengah untuk interaksi sosial), dan nista mandala (ruang paling luar untuk kegiatan profan). Dalam konteks modern, konsep ini dapat diterapkan pada penataan ruang kota dengan memastikan keberadaan zona spiritual (seperti tempat ibadah), zona sosial (seperti alun-alun atau balai warga), dan zona ekologis (seperti hutan kota atau area pertanian).
- Sanga Mandala
Prinsip Sanga Mandala membagi ruang ke dalam sembilan zona, yang masing-masing memiliki makna filosofis dan fungsional. Pembagian ini tidak hanya mengatur aspek fisik ruang, tetapi juga menegaskan orientasi ruang terhadap kosmos, mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
- Kawasan Pekarangan dan Desa
Dalam skala mikro, pekarangan rumah masyarakat Bali selalu menempatkan pura keluarga di bagian utama sebagai simbol Parahyangan, area tempat tinggal di bagian tengah sebagai simbol Pawongan, dan area dapur, kandang ternak, atau kebun di bagian luar sebagai simbol Palemahan. Sementara pada skala desa, penataan wilayah juga mengikuti prinsip serupa, di mana pura desa berada di bagian utama, balai desa di bagian tengah, dan sawah atau ladang di bagian luar.
- Relevansi dengan Tata Ruang Modern
Implementasi prinsip THK dalam tata ruang modern sangat relevan dengan isu keberlanjutan (sustainability).
- Dari sisi Parahyangan, perencanaan ruang memastikan keberadaan zona sakral dan budaya untuk menjaga identitas spiritual masyarakat.
- Dari sisi Pawongan, ruang publik dirancang agar mendorong interaksi sosial, seperti taman kota, pusat kebudayaan, dan ruang komunitas.
- Dari sisi Palemahan, alokasi ruang terbuka hijau, kawasan resapan air, dan pelestarian alam menjadi kunci menjaga keseimbangan ekologis.
Dengan demikian, implementasi THK dalam tata ruang bukan sekadar bentuk pelestarian budaya, melainkan strategi untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini, THK dapat dipandang sebagai filosofi lokal yang sejalan dengan prinsip global Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan tentang kota berkelanjutan, pendidikan berkualitas, dan pelestarian lingkungan.