Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merasakan Energi Nyepi di Ubud

7 Maret 2019   00:55 Diperbarui: 7 Maret 2019   08:41 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Dokumentasi Pribadi)

Wisatawan diberi kesempatan berfoto sebelum ogoh-ogoh ini diarak menuju lokasi perayaan/pesta sebelum Nyepi.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)
(Foto: Dokumentasi Pribadi)
Berada dalam atmosfer kemeriahan, kemegahan dan kesakralan yang berbaur menjadi satu membuat saya lupa kalau saya sudah berkeliaran sejak jam 2 siang tanpa merasa lelah sedikit pun. 

Saya seperti anak kecil yang kegirangan ketika ogoh-ogoh ini mulai diarak keluar dari lapangan, dan bersama wisatawan asing lainnya saya berjalan cepat-cepat tidak ingin jauh dari kelompok pengiring musik, takut tertinggal. 

Sedikit lagi mungkin saya juga bisa ikutan gila terbawa energi perasaan lepas, liar dan bebas hanya karena menyaksikan semangat pemuda-pemuda Bali ini memainkan alat muski dan bersorak lantang ibarat menuju medan perang. 

Akhirnya tiba juga saya di lokasi pelaksanaan atraksi pagelaran tari-tarian yang menggunakan obor berapi. Pemuda-pemuda ini kemudian menari secara teatrikal mengikuti naskah cerita yang berbahasa Bali. 

Saya tidak mengerti apa yang dijelaskan sang dalang waktu itu selain karena sekeliling saya juga sudah berubah menjadi seperti orang kerasukan (bukan kerasukan setan).


Tadinya saya berpikir bila wisatawan asing itu cukup kalem dan lebih lebih mudah diatur ketika ada pertunjukan seni seperti ini, tapi nyatanya tidak. 

Meski berkali-kali disoraki sama pecalang agar tidak melewati batas yang ditandai dengan palang bambu agar tidak terus merangsek masuk ke area pertunjukan, nyatanya mereka tetap saling mendorong karena ingin melihat atraksi langka sekali setahun itu.

Suara pecalang di depan saya juga masih terngiang-ngiang, "Back, back, please back" dan tetap saja turis-turis itu semacam ngeyel entah karena tidak mengerti maksud si pecalang atau memang mereka sudah berubah jadi gila dengan atraksi-atraksi lokal seperti itu. 

Saya tidak bisa berbuat banyak karena saya dikepung dengan orang-orang berbadan tinggi hingga nyaris saya tidak melihat secara langsung kemeriahan atraksi tari-tarian para Bli-bli yang rupawan itu. 

Beruntung para wisatawan ini ada yang membawa tongsis, jadilah saya hanya menonton atraksi yang hanya berjarak 3 meter di depan saya, melalui handphone wisatawan dengan cara mendongakkan kepala. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun