Mahasiswa dan Tanggung Jawab Moral
Dalam khazanah sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, nama Soe Hok Gie sering disebut bukan semata karena keberaniannya, tetapi juga karena konsistensinya memegang teguh integritas intelektual. Ia menjadi ikon yang melampaui batas generasi, karena ide-ide dan sikap hidupnya tetap relevan hingga hari ini.
Bagi mahasiswa baru, mempelajari Gie bukan sekadar mempelajari sejarah pergerakan mahasiswa era 1960-an, tetapi juga memahami hakikat mahasiswa sebagai subjek perubahan sosial. Mahasiswa tidak hanya dituntut menguasai pengetahuan, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, keberanian moral, dan kemampuan berpikir kritis terhadap kekuasaan.
Latar Belakang Kehidupan
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta, dari keluarga Tionghoa yang cukup sederhana. Ayahnya, Soe Lie Piet, adalah seorang penulis, dan ibunya, Nio Hoe An, seorang ibu rumah tangga. Lingkungan keluarganya yang terbuka terhadap bacaan dan diskusi intelektual membentuk minatnya pada literatur, filsafat, dan sejarah.
Ia menempuh pendidikan di SMA Kanisius Jakarta dan kemudian melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), jurusan Sejarah. Sejak masa kuliah, Gie aktif menulis di berbagai media dan majalah kampus, serta membentuk jaringan diskusi dengan sesama mahasiswa dan intelektual muda.
Konteks Zaman: Orde Lama dan Transisi Politik
Memahami pemikiran Gie tidak dapat dilepaskan dari konteks politik zamannya. Era 1960-an adalah periode penuh gejolak: ekonomi terpuruk, konflik ideologi antara nasionalis, agama, dan komunis memuncak, sementara pemerintahan Presiden Soekarno semakin bersifat otoriter.
Di tengah situasi itu, Gie memosisikan diri sebagai mahasiswa yang independen secara politik. Ia menolak menjadi alat kekuatan politik manapun, baik yang pro maupun kontra pemerintah, jika sikap mereka bertentangan dengan prinsip kebenaran dan keadilan.
Prinsip ini kelak menjadi ciri khas Gie, keberanian untuk berdiri di luar arus utama demi mempertahankan nurani.