Malam ke-27 Ramadan, Bumi Panua bermandikan cahaya. Tumbilotohe hadir seperti biasa, lampu-lampu menyala di setiap sudut, menerangi jalan, pekarangan rumah, hingga pinggiran sawah. Seolah-olah, di malam itu, tidak ada kegelapan di Pohuwato.
Tapi, benarkah demikian?
Apakah cahaya itu benar-benar sampai ke hati rakyat? Ataukah ini sekadar ilusi terang, sementara kehidupan rakyat tetap gelap, gelap karena ketidakadilan, gelap karena ketimpangan, gelap karena tanah ini lebih akrab dengan investor daripada dengan pemilik sahnya: rakyat kecil?
Di Balik Terang, Ada yang Tak Kunjung Nyata
Pohuwato bukan tanah yang miskin. Ia kaya, teramat kaya.
Gunung-gunungnya menyimpan emas, sawahnya pernah hijau, lautnya penuh berkah, dan hutannya dulu rindang.
Namun kini, siapa yang menikmati semua itu?
Emasnya? Disedot oleh perusahaan-perusahaan besar, dijual ke pasar global, sementara rakyat yang tinggal di bawah kaki gunung masih berkutat dengan harga beras yang naik turun seperti nasib mereka.
Ladang sawit? Menghampar luas sejauh mata memandang, mengkilap di bawah matahari seperti harapan yang dipermainkan. Katanya, sawit membawa kesejahteraan. Tapi coba tanyakan pada petani kecil, apakah mereka lebih kaya dari sebelumnya?
Industri wood pellet? Ah, ini lebih menarik. Pohon-pohon ditebang, dipotong rapi, diolah menjadi serpihan kecil, lalu dikemas sebagai energi terbarukan. Ironis, bukan? Hutan yang dulu menyejukkan, kini hanya tersisa debu yang beterbangan. Dan rakyat yang dulu hidup dari alam? Mereka hanya bisa melihat dari kejauhan, menyaksikan kekayaan yang pergi, meninggalkan kehampaan.