Panggung Politik dan Kepentingan di Baliknya
Di tengah semua ini, para petinggi daerah memainkan peran mereka dengan elegan. Mereka tidak secara langsung berpihak pada salah satu kubu, tetapi keputusan mereka diam-diam menguntungkan kubu B.
Barangkali, ada pertemuan-pertemuan rahasia yang tidak masuk dalam agenda resmi. Barangkali, ada percakapan yang dilakukan tanpa jejak digital. Yang jelas, sikap mereka menunjukkan bahwa kubu B lebih "bermanfaat" bagi kestabilan sistem ini dibandingkan kubu A.
Namun, kestabilan ini hanya ilusi.
Setiap kali satu pihak merasa ditinggalkan, mereka akan menggunakan semua yang mereka miliki untuk menyerang. Saat ini, kubu A menggunakan media sebagai senjata. Besok, mungkin mereka akan menggunakan aparat. Lusa, mungkin akan ada demo yang dibuat seolah-olah itu murni aspirasi rakyat.
Dan dalam setiap konflik yang terjadi, ada satu kebenaran yang selalu bertahan: yang kalah bukan mereka yang tidak memiliki kekuatan, tetapi mereka yang gagal menyesuaikan diri dengan perubahan permainan.
Nasib Bumi Panua: Siapa yang Peduli?
Sementara itu, di luar panggung politik dan pertempuran ego ini, Bumi Panua tetap menangis dalam sunyi.
Sungai-sungai yang dulu jernih kini penuh dengan lumpur dan racun merkuri. Hutan-hutan yang dulu rimbun kini hanya menyisakan tanah merah yang gundul. Petani yang dulu menggantungkan hidup pada sawah mereka kini harus beralih menjadi buruh tambang, bukan karena ingin, tetapi karena tidak ada pilihan lain.
Namun, siapa yang benar-benar peduli?
Bagi mereka yang terlibat dalam permainan ini, Bumi Panua bukanlah tanah yang harus dijaga, tetapi sumber daya yang harus dieksploitasi selama masih bisa.