Mohon tunggu...
Ronald Pasir
Ronald Pasir Mohon Tunggu... Economist, Stock trader, financial adviser, freelance writer

Hobi Mancing dilaut, menyukai humor, open minded, peniti jalan kehidupan. Suka menulis, percaya bahwa kata-kata bisa menjadi senjata nurani. Menulis bukan untuk menjadi populer, tapi untuk membela yang tertindas dan menggugah yang terlena. Diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ideologi di Tengah Kebebasan: Menimbang Jalan Tengah dalam Merespon Paham Radikal.

10 Juni 2025   09:38 Diperbarui: 10 Juni 2025   09:38 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kebebasan berpendapat? Ya. Tapi seperti kata Isaiah Berlin: "Freedom for the wolves often means death to the sheep."

Tasawuf: Obat Sejuk, Tapi Bukan Satu-Satunya

Ulil kini memilih pendekatan tasawuf. Jalan sunyi, penuh kontemplasi. Ia menyebutnya sebagai cara "menikung" radikalisme. Sebuah pilihan spiritual yang tentu patut diapresiasi. Tapi mengharapkan tasawuf sebagai solusi tunggal mengatasi ideologi radikal ibarat mengobati serangan jantung dengan meditasi.

Tasawuf menyentuh hati, tapi ideologi menyentuh nalar---dan kadang menyusup ke celah kebijakan. Kita memerlukan literasi agama yang menyeluruh, pendidikan kewarganegaraan yang kuat, serta kurikulum digital untuk anak muda yang rentan termakan slogan agama-politik.

Bahkan Gus Dur pun tidak hanya mengajarkan zikir. Ia membentuk opini publik, melobi elite politik, dan terjun langsung ke jantung negara. Jadi, mari berdzikir, tapi jangan lupa bikin podcast dan undang Youtuber.

Apakah Menekan Ide Selalu Salah?

Ulil mengutip "misteri Che Guevara"---bahwa pelarangan bisa melahirkan romantisme. Tapi Che memperjuangkan pembebasan rakyat tertindas dari rezim kolonial dan kapitalisme buas. HTI memperjuangkan negara tunggal berbasis agama yang menolak pluralisme. Apakah keduanya bisa disamakan dalam satu analogi?

Tentu tidak. Jika semua yang dilarang jadi keren, mengapa koruptor tidak pernah dianggap pahlawan? Jika tekanan membuat suatu kelompok jadi solid, maka pertanyaannya adalah: apakah ketidaktegasan kita justru yang membuat mereka merasa bebas?

Sekali lagi: bukan soal suka atau tidak suka pada satu paham, tapi bagaimana paham itu memengaruhi tatanan bersama.

Belajar dari Yahudi di Amerika

Ulil juga mengutip pengalaman Yahudi yang makin longgar identitasnya di tengah kebebasan di AS. Itu sah saja. Tapi kita juga bisa melihat kebalikannya: komunitas Muslim di Inggris dan Prancis justru mengalami ghettoisasi meskipun berada di negara bebas. Banyak pemuda Muslim justru terekspos narasi ekstremis karena mereka merasa tidak punya ruang identitas. Di sinilah pentingnya negara hadir: bukan untuk melarang keyakinan, tapi memastikan bahwa ruang-ruang itu tidak diisi dengan eksklusivisme yang mengancam kohesi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun