Ideologi di Tengah Kebebasan: Menimbang Jalan Tengah dalam Merespons Paham Radikal
*Tulisan ini di persembahkan untuk para pejuang keadilan dan kebebasan.
Dalam tulisan reflektifnya, Ulil Abshar Abdalla mengajukan satu tesis menarik: bahwa sebuah ide, jika ditekan, justru akan tumbuh lebih kuat. Dalam konteks ini, ia menyebut kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sosok Felix Siauw sebagai contoh. Ia menyarankan agar kita tidak buru-buru menekan ide yang kita anggap berbahaya, karena bisa-bisa kita malah memberi mereka "aura heroik". Lebih baik, katanya, bebaskan saja ide itu agar bisa diuji oleh publik.
Saran ini terasa sejuk, seperti udara pagi di pesantren-pesantren sufi. Tapi sayangnya, politik ideologi tidak sesederhana memasukkan air ke dalam teko: cair, jernih, dan mudah diukur.
Ide Tidak Netral: Ada yang Menawarkan Impian, Ada yang Mengancam Demokrasi
Dalam dunia filsafat politik, Hannah Arendt pernah menulis bahwa "ideologi" adalah sistem berpikir yang begitu meyakinkan, sampai-sampai membuat pemeluknya tidak perlu berpikir lagi. Di sinilah masalahnya. Ketika kita berhadapan dengan ideologi transnasional seperti khilafah, yang menganggap sistem negara-bangsa adalah bid'ah modern, maka membiarkan mereka "tampil bebas" bukan berarti memberi ruang debat sehat---tetapi kadang justru membuka panggung rekrutmen massal.
Contohnya? Tengoklah Jerman.
Pada 2016, pemerintah Jerman melarang organisasi Salafi "Die Wahre Religion" karena menyebarkan paham ekstremis. Mereka membagikan 25 juta mushaf gratis sebagai cara menyebarkan ide anti-demokrasi. Dilarang? Ya. Tapi sebelum itu, Jerman memberi mereka ruang kebebasan. Hasilnya? Ratusan pemuda bergabung, dan beberapa di antaranya berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Inilah ironi kebebasan tanpa pagar.
Bebas Tapi Bertanggung Jawab: Bukan Membungkam, Tapi Menyaring
Maka muncul pertanyaan: apakah kita harus membungkam semua ide yang tidak kita sukai? Tidak. Tapi kita juga tidak bisa membiarkan ruang publik menjadi pasar bebas ideologi tanpa aturan. Di sinilah letak dilema demokrasi: harus terbuka, tapi juga tidak boleh bunuh diri.
Amerika Serikat, misalnya, dalam kebebasan berpendapatnya yang legendaris, tetap punya mekanisme tegas terhadap ide-ide supremasi kulit putih. Neo-Nazi dan Ku Klux Klan tidak dilarang secara hukum, tapi dipantau ketat dan tidak diberi ruang publik yang leluasa. Bahkan algoritma media sosial mereka kini diatur agar tidak mempromosikan ekstremisme.