Mohon tunggu...
ray sheva
ray sheva Mohon Tunggu... -

jangan berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puisi Politisi

21 April 2014   21:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres), tepatnya pasca penunjukan gubernur DKI jakarta Joko Widodo menjadi kandidat calon presiden dari PDIP melalui mandat langsung ketua umum megawati soekarno putri. Pemberian mandat tersebut tak terlepas juga ‘Peran’ media dan lembaga survey yang dimana posisi mantan walikota solo tersebut selalu menempati rangking teratas kandidat presiden yang paling berpeluang dipilih rakyat. Konstelasi politik kemudian mulai ramai dan lebih bergairah. Pro-kontra, dukungan, kekecewaan, kritikan, harapan bahkan tak sedikit makian kemudian mulai menyerang sang kadidat yang terkenal melalui aksi blusukannya tersebut. Yang pro tentu memiliki argumentasi mulai dari harapan akan tokoh baru, bersih, sederhana dan dicintai rakyat. Sementara kelompok yang kontra menilai jokowi belum tuntas menjalankan tugas dan amanah sebagai gubernur DKI jakarta setelah sebelumnya juga meninggalkan jabatannya sebagai walikota solo.

Adalah partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ‘sekutu politik’ yang selama ini begitu mesra PDIP termasuk dalam mendukung pasangan Jokowi-Ahok ketika maju sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2013 lalu. Partai besukan Prabowo Subianto ini merasa berang dan dikhianati oleh partai moncong putih tersebut, maklum saja, sebelum nama jokowi muncul sebagai kandidat calon presiden, mantan letjen kopasus tersebut selalu berada pada posisi top survey calon presiden yang berpeluang dipilih oleh rakyat. Kini, bermodalkan perjanjian batu tulis ketika gerindra beriktikat bareng, berjuang bersama mengusung capres-cawapres megawati-prabowo 2009 lalu dimana poin-poin perjanjian dalam koalisi tersebut tertulis dengan jelas pada poin akhir dimana PDIP akan mendukung capres dari gerindra pada pemilu 2014 ini. Dan janji tinggalah janji yang kemudian ditanggapi oleh partai PDIP perjuangan sebagai perjanjian yang mengikat apabila pasangan MegaPro memenangkan pemilihan presiden 2009, kenyataan berkata lain sehingga point perjanjian batu tulis itu menurut PDIP tidak lagi berlaku.

Tak ada kawan maupun lawan abadi dalam dunia politik, yang ada adalah kepentingan. Ideom tersebut begitu kuat erat melekat pada kita semua. Kini, kawan mesra sekutu politik ini bak sudah menabuh genderang ‘perang’ baik di dunia nyata maupun dunia maya. Bermacam serangan politik bak menjadi bumbu penyedap dinamika memanasnya hubungan kedua belah pihak. Salah satu yang cukup menarik perhatian khalayak ramai adalah serangan sindiran-sindiran karakter sang kandidat jokowi melalui berbagai karya puisi ala wakil ketua umum partai gerindra Fadli Zon. Inilah seni merangkai kata dan intonasi yang menghasilkan karya politik untuk dan demi kepentingan politik, puisi politisi.

Puisi-puisi karya politisi Fadli Zon tentu sarat akan makna, maksud dan tujuan utamanya tujuan politik, sebagai sebuah karya seni, puisi menurut Herman J. Waluyu (2002) sejatinya adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias. Puisi Fadli Zon mulai dari air mata buaya, sajak seekor ikan dan raisopopo meski mengandung kata-kata kias, publik jelas tahu kemana syair-syair itu diarahkan?

Apapun bentuk dan makna puisi karya fadli zon, tentu itu merupakan karya seni yang mungkin menggambarkan perasaannya dan patut diapresiasi. Akan tetapi apakah kemudian karya-karya itu adalah fakta dan realita atau hanya sekedar imajinasi pribadi sebagai bentuk serangan politik, sarana menyebarkan kebencian dan fitnah semua tergantung pada persepsi kita masing-masing. Puisi tetap sebuah karya seni yang baik walaupun bermakna satire . Yang jelas, seni pada hakikatnya adalah sebuah keindahan. Ia tidak dan bukan sarana untuk menyebabkan bibit-bibit permusuhan antar umat manusia.

Sebuah puisi karya Ombi seperti dikutif dari Jendela Sastra berikut ini setidaknya meluruskan persepsi kita memaknai apa dan bagaimana puisi politisi tersebut perlu kita sikapi :

ketika politisi berpuisi

alih alih orasi

caci dan maki

janjinya tersembunyi

penuh dengan teka dan teki

dan bisa saja ia berbuat apa nanti

puisinya ia tafsir sendiri

April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun