Mohon tunggu...
Rasha Nareswari
Rasha Nareswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah Mahasiswa Hukum yang memiliki ketertarikan terkait isu kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan serta perlindungan hak asasi manusia.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Realisasi Hilirisasi Nikel terhadap Kendaraan Listrik di Indonesia, Bagaimana Faktanya?

22 Januari 2024   22:19 Diperbarui: 22 Januari 2024   22:27 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://dataindonesia.id/energi-sda/detail/indonesia-dominasi-produksi-nikel-di-dunia-pada-2022

Ditulis oleh: Rasha Nareswari Nurharyani dan Seno Gumira Adjidarma

Indonesia memiliki tekad yang kuat untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang maju dan menguatkan daya saing di tingkat ekonomi global. Untuk itu, Pemerintah Indonesia mencanangkan hilirisasi industri pertambangan dengan tujuan untuk tidak menjual produk hasil pertambangan mineral dalam bentuk mentah, akan tetapi dilakukan pengolahan terlebih dahulu dengan harapan agar meningkatkan nilai dari produk berbasis Sumber Daya Alam (SDA) di dalam negeri. Hilirisasi industri ini, khususnya di sektor mineral dan batubara (Minerba) merupakan perwujudan dari UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).  Kewajiban hilirisasi di sektor pertambangan ini merupakan upaya Pemerintah untuk memberikan nilai tambah bagi tambang yang dihasilkan. Pada saat ini, terdapat 48 proyek smelter nikel yang memiliki target untuk dioperasikan pada tahun 2024.  Nikel merupakan golongan dari mineral logam berdasarkan klasifikasi dari Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 (PP 96/2021).

Cadangan nikel Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dengan cadangan yang mencapai 21 juta ton atau setara dengan 22% cadangan global menurut data yang dilansir dari U.S. Geological Survey. Hal ini juga menjadikan Indonesia sebagai peringkat pertama di dunia dalam hal produksi nikel, diketahui Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia pada tahun 2022 dengan total produksi mencapai 1,6 juta metrik ton.  Hasil dari hilirisasi nikel menyumbang  sebanyak 2,17% terhadap total ekspor non migas.  Hilirisasi nikel disebut telah mendorong pertumbuhan ekonomi juga diungkapkan dalam studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dengan judul "Dampak Investasi Sektor Pertambangan terhadap Kinerja Perekonomian Nasional dan Regional" yang dirilis pada Selasa, 7 Maret 2023. INDEF mencatat ada 4 (empat) provinsi , yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara sebagai penyumbang nikel terbesar di Indonesia yang mengalami peningkatan realisasi investasi di sektor hilir.  

Untuk meningkatkan produksi nikel di dalam negeri , pemerintah bahkan tidak ragu untuk menghentikan ekspor bijih nikel sejak awal tahun 2020 silam. Pelarangan ekspor bijih nikel ini tidak lain agar nikel yang dijual sudah diolah terlebih dahulu sehingga meningkatkan nilai jual. Alhasil, Indonesia telah mendapatkan penggandaan nilai tambah dengan menjual produk nikel yang berupa bentuk yang sudah diolah di dalam negeri. Dengan ini, tercatat sepanjang tahun 2022 Indonesia berhasil mencatatkan transaksi sebesar Rp 514 triliun sepanjang tahun 2022. Bahkan, nilainya dipastikan akan terus meningkat dengan target mencapai Rp 592,2 triliun atau US$ 38 miliar (kurs Rp15.585 per US$).  Hilirisasi nikel di Indonesia dapat dikatakan sebagai bentuk kesuksesan, bahkan produksi nikel tersebut dapat dikatakan sudah over seperti yang diujarkan oleh Meidy Katrin Lengkey selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).

Industri pengolahan nikel menjadi daya tarik utama bagi pemerintah saat ini, upaya pengembangan lanjutan terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan nilai jual dari pengolahan bahan baku nikel itu sendiri. Pada saat ini, perhatian dunia sangat difokuskan pada isu keberlangsungan lingkungan, oleh karena itu kendaraan listrik hadir sebagai salah satu solusi bagi tingginya emisi yang dihasilkan oleh kendaraan berbasis bahan bakar fosil konvensional. International Energy Agency (IEA) melihat terjadi peningkatan tren penjualan mobil listrik yang sangat drastis hanya dalam waktu 10 tahun. Tercatat pada tahun 2010, hanya ada 17.000 kendaraan listrik yang beroperasi, namun pada tahun 2019 tercatat terdapat 7,2 juta kendaraan listrik beroperasi dijalanan di seluruh dunia. IEA selanjutnya memperkirakan akan ada 140 juta kendaraan listrik di tahun 2030 yang beroperasi di seluruh dunia.

Tiongkok tercatat menjadi tujuan utama penjualan mobil listrik, yang selanjutnya disusul oleh Amerika Serikat serta Eropa. Sebagian produk kendaraan listrik di dunia sepanjang tahun 2019 terjual di Tiongkok dengan jumlah perkiraan  sebanyak 1 juta unit, angka ini ternyata turun 2% dari tahun sebelumnya. Terdapat Eropa pada urutan kedua dengan penjualan sebanyak 561.000 unit dan dilanjutkan oleh Amerika Serikat pada peringkat tiga dengan penjualan sebanyak 327.000 unit. Sepanjang tahun 2019, diketahui sebanyak 47% kendaraan listrik di seluruh dunia berada di Tiongkok, jumlah ini naik dari 45% di 2018. Tercatat bahwa jumlah kendaraan listrik yang beroperasi di Tiongkok pada 2019 diketahui telah tumbuh 46% dari tahun sebelumnya menjadi 3,4 juta buah. Sementara di Eropa, kendaraan listrik sebanyak 1,7 juta unit, yang dimana angka sebanyak ini merupakan 25% total kendaraan listrik global, dan di Amerika Serikat 1,5 juta unit (20%) di tahun yang sama.

Pemerintah melihat hal ini sebagai peluang Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik dunia, dengan mengamankan rantai pasokan baterai sebagai bahan baku utama dalam komponen kendaraan listrik. Baterai li-ion terdiri dari beberapa jenis seperti LTO (Lithium Tithanate), LFP (Lithium Phosphate), LMO (Lithium Manganesse), NMC (Lithium Nickel Mangan Cobalt), LCO (Lithium Cobalt Oxide), atau NCA (Lithium Nickel Alumunium Oxide). Baterai li-ion jenis NMC diketahui mengandung nikel yang dimana saat ini paling banyak digunakan pada kendaraan listrik dengan pertimbangan keamanan, daya simpan energi, dan harga. Hingga tahun 2023, tercatat terdapat berbagai perusahaan terkemuka dunia telah membangun pabrik serta memproduksi baterai dengan kapasitas 252,45 GWh. Diketahui bahwa Tiongkok, USA, dan Uni Eropa merupakan produsen utama.  Dalam upaya menjadi sentra produksi kendaraan listrik dunia, walaupun dengan berbekal cadangan nikel yang sangat melimpah, namun secara kapabilitas Indonesia masih tetap memperlukan dukungan pihak lain, oleh karena itu pemerintah berupaya mengajak perusahaan asing untuk berinvestasi dengan membangun pabrik kendaraan listrik di Indonesia.

Bilamana Indonesia ingin menjadi produsen kendaraan listrik maka diwajibkan memiliki ekosistem kendaraan listrik itu sendiri, sebagai upaya menciptakan ekosistem kendaraan listrik dikeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Perpres 55/2019).  Kebijakan ini juga merupakan upaya agar investor EV dunia tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Indonesia sendiri sedang mengefektifkan program insentif kendaraan bermotor listrik (Battery Electric Vehicle) dalam rangka mengimplementasikan Pasal 3 Perpres 55/2019,  aturan insentif selanjutnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah tahun Anggaran 2023 pada 29 Maret 2023 (Permen 38/2023).  Mulai tanggal 1 April 2023, diketahui hanya kendaraan listrik yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebanyak minimal 40% saja yang mendapatkan insentif PPN sebesar 10%. Dengan ini, kendaraan yang yang mendapatkan insentif hanya terkena PPN sebesar 1% dan harganya pun akan ikut terpangkas. Untuk tahun 2023, Pemerintah Indonesia memiliki target untuk memberikan insentif kepada 250.000 unit sepeda motor listrik serta 35.900 unit kendaraan listrik beroda empat.  

Dengan diberikannya insentif tersebut, selanjutnya diharapkan akan memberikan stimulus bagi produsen EV, serta sebagai bentuk semangat pemerintah dalam menyambut era EV. Pemberian insentif ini didasari oleh berbagai tujuan, mulai dari penurunan emisi karbon, hingga pengurangan subsidi bahan bakar fosil , dan tentunya sebagai upaya untuk mendorong industri berbasis nikel. Dengan ini diharapkan masyarakat tertarik dan beralih ke kendaraan listrik serta menarik minat investor agar memproduksi kendaraan listrik sehingga membantu terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat, memajukan inovasi teknologi serta menambah pendapatan bagi negara. Persaingan dari beberapa negara Asia Tenggara mulai untuk berlomba-lomba menarik investasi dari berbagai pabrikan EV sebagai respons atas tren pertumbuhan kendaraan listrik dunia.

Saat ini diketahui Indonesia bersaing langsung dengan thailand dalam menciptakan ekosistem dan pengembangan EV. Berbagai pabrik otomotif dunia telah membuka pabrik di Indonesia seperti Hyundai dari Korea Selatan dan Wuling dari China, selanjutnya perusahaan EV terbesar dari China, BYD, sedang mencoba peruntungannya dengan membangun pabrik di Thailand baru-baru ini. Diketahui bahwa Filipina serta Vietnam mulai tertarik dengan perkembangan EV. Tercatat bahwa Filipina merupakan penghasil nikel kedua terbesar di dunia yang dimana tepat di belakang Indonesia, namun mereka terkendala dengan mahalnya tagihan biaya listrik dibandingkan negara sekitarnya. Persaingan industri EV di ASEAN semakin ketat dengan diberikannya berbagai penawaran insentif untuk EV yang digulirkan dari berbagai negara untuk mengundang berbagai pabrikan EV terkemuka dunia.

Dengan berpindah dari yang awalnya menggunakan kendaran berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik maka Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak, mengurangi emisi life-cycle dari sektor transportasi, dan meningkatkan penyerapan industri nikel dan turunannya. Pengurangan ketergantungan impor bahan bakar minyak akan berkurang beriringan dengan peralihan dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. Hal tersebut lebih mungkin terjadi untuk segmen kendaraaan roda dua mengingat besaran insentif lebih menggiurkan, sedangkan untuk kendaraan roda empat mungkin tidak cukup untuk membuat pengguna pengendara mobil segmen menengah beralih ke kendaraaan listrik. Diketahui dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perusahaan motor listrik yang hadir untuk turut serta dalam penjualan motor listrik pada pasar domestik, meskipun masih banyak yang mengimpor komponen baterai dalam produksi kendaraan roda dua listriknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun