Setiap kali orang bertanya, "Kapan nikah?" aku hanya bisa tersenyum kaku. Mereka tidak tahu, di balik pertanyaan sederhana itu ada luka besar yang masih aku pikul sampai sekarang.
Aku tumbuh di keluarga yang penuh perpisahan. Ibuku sudah menikah tiga kali. Pernikahan pertama berakhir dengan perceraian, meninggalkan kakakku tanpa ayah. Pernikahan kedua... itu ayahku, yang katanya meninggal. Aku pun tidak pernah tahu kebenarannya dengan jelas. Lalu pernikahan ketiga, dengan ayah dari adikku, setelah 13 tahun bersama akhirnya kandas juga.
Sejak kecil aku belajar bahwa pernikahan tidak selalu indah. Aku melihat ibuku jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi. Aku melihat bagaimana luka itu diwariskan secara tidak langsung kepada anak-anaknya. Dan aku... tumbuh dengan trauma.
Itulah sebabnya aku takut. Takut dekat dengan perempuan. Takut salah pilih. Takut suatu hari nanti anakku harus menanggung luka yang sama seperti aku. Setiap kali mencoba membangun hubungan, selalu gagal, seolah semesta mengingatkanku bahwa aku belum siap.
Apalagi sekarang usiaku sudah 23 tahun. Aku hidup di rumah kontrakan sederhana bersama ibu. Kadang aku termenung di malam hari, bertanya pada diriku sendiri: Haruskah aku fokus membahagiakan ibu dulu? Aku ingin sekali bisa membangunkan rumah untuknya, agar beliau tidak perlu lagi merasa khawatir di usia tuanya. Tapi di sisi lain, orang-orang terus mendesak: "Kapan kamu menikah? Jangan lama-lama!"
Jujur saja, aku bingung. Gajiku tidak seberapa. Hidup saja masih pas-pasan, apa pantas aku memikirkan rumah tangga sementara ibuku sendiri belum bisa tinggal dengan layak? Apa aku tidak seharusnya memprioritaskan beliau dulu?
Aku tahu, banyak orang yang menikah dalam kondisi sederhana. Tapi untukku, luka masa lalu, kondisi ekonomi, dan rasa takut ini bercampur jadi satu. Jadi, jangan anggap remeh ketika aku hanya tersenyum setiap kali ditanya soal pernikahan.
Karena sesungguhnya, aku sedang berjuang. Aku sedang bertarung dengan trauma, dengan rasa takut, dengan realita hidup yang kadang terlalu berat untuk seumuranku.
Aku bukan tidak ingin bahagia. Aku hanya ingin melangkah dengan hati yang benar-benar siap. Aku ingin memastikan, kalaupun nanti aku menikah, itu bukan untuk mengulang kisah pahit keluargaku, melainkan untuk membangun cerita baru yang lebih baik.
Sampai saat itu tiba, tolong...
Stop. Jangan lagi tanya aku kapan nikah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI