Mohon tunggu...
Fragman Senyap
Fragman Senyap Mohon Tunggu... Penulis

Halo, Fragman Senyap, seorang penikmat kata, pengamat kehidupan, dan penulis lepas yang percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Lahir dan besar di desa kecil, saya tumbuh bersama buku-buku, dialog diam dengan diri sendiri, dan keinginan untuk terus belajar dari kehidupan sehari-hari, sambil tetap menulis sebagai bentuk ekspresi diri dan ruang berbagi pemikiran. Topik yang saya angkat di Kompasiana cukup beragam—mulai dari catatan reflektif, opini sosial, hingga cerita ringan yang menyentuh sisi personal manusia. Saya percaya bahwa menulis bukan hanya soal mengungkapkan, tapi juga soal menyembuhkan. Mari bertukar pikiran, berbagi cerita, dan merayakan makna dari hal-hal kecil bersama. Salam hangat, Fragman

Selanjutnya

Tutup

Book

90% Bisnis Digital Gagal di Tahun Pertama - Bagaimana Agar Kita Tidak Jadi Korbannya?

9 Agustus 2025   16:57 Diperbarui: 9 Agustus 2025   16:57 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di layar ponsel, dunia terasa begitu menjanjikan. Satu klik bisa memperlihatkan ribuan peluang bisnis. Siapa pun bisa memulai usaha, tanpa perlu toko fisik atau modal besar. Kita sering melihat orang yang tampaknya "mendadak sukses" hanya dengan berjualan dari rumah, membagikan foto atau video, lalu uang mengalir. Begitu mudahnya hingga kita percaya, semua orang bisa melakukannya.

Tapi di balik kilauan itu, ada kenyataan yang jarang dibicarakan: 90% bisnis digital gagal dalam satu tahun pertama. Angka yang memukul semangat, apalagi bagi mereka yang baru ingin mencoba. Survei Oberlo tahun 2022 mencatat bahwa sebagian besar pelaku usaha online bahkan tidak sempat merasakan satu pun penjualan yang berarti sebelum memutuskan berhenti.

Yang mengejutkan, kegagalan ini bukan karena mereka malas atau tidak serius. Justru banyak di antara mereka yang sudah berusaha keras---posting setiap hari, ikut kelas online, membuat desain cantik, dan menghabiskan uang untuk iklan. Mereka berlari kencang, tapi tidak sadar sedang menuju ke arah yang salah.

Salah satu akar masalahnya adalah terburu-buru. Banyak orang memulai dengan logika sederhana: "Kalau aku punya produk, pasti ada yang beli." Sayangnya, dunia digital tidak bekerja seperti itu. Membuka toko online atau akun Instagram bisnis tidak otomatis membuat orang berbondong-bondong datang. Sama seperti membangun panggung megah di tengah hutan: lampunya mungkin terang, dekorasinya indah, tapi kalau tak ada yang tahu keberadaannya, kursinya akan tetap kosong.

Lalu, di mana letak kesalahannya? Sebagian besar gagal karena melupakan satu hal yang terdengar sepele: memperkenalkan diri. Di dunia nyata, sebelum kita percaya pada seseorang, kita ingin tahu siapa dia, bagaimana sikapnya, dan apakah kata-katanya bisa dipegang. Di dunia digital, prinsip itu sama, hanya saja medianya berbeda. Kepercayaan kini dibangun lewat foto, video, tulisan, dan interaksi.

Saya pernah melihat dua penjual produk yang sama, dengan harga yang sama. Penjual pertama memiliki desain yang rapi dan profesional, tapi sepi pembeli. Penjual kedua desainnya biasa saja, namun setiap postingannya dipenuhi komentar dan pesan pribadi. Bedanya sederhana: penjual kedua hadir sebagai "orang" di layar, bukan hanya akun jualan. Ia bercerita, membalas komentar, dan berbagi hal-hal kecil yang membuat orang merasa dekat. Dari situ, kepercayaan tumbuh. Dan kepercayaan, seperti yang sering dilupakan, lebih mahal daripada harga produk itu sendiri.

Masalah lain adalah jebakan "cepat untung". Internet penuh dengan janji manis: jualan 7 digit dalam seminggu, sukses hanya dengan tiga langkah, atau laris manis tanpa modal. Janji-janji ini memikat banyak pemula, membuat mereka mencari trik instan, padahal yang mereka butuhkan adalah pondasi yang kokoh. Tanpa pondasi, usaha digital seperti rumah di atas pasir: sekilas kokoh, tapi mudah runtuh saat diterpa masalah.

Pondasi itu bernama personal branding. Kata ini sering terdengar seperti jargon motivator, padahal artinya sederhana: bagaimana orang memandang kita. Branding bukan hanya logo atau warna tema, tapi cerita, nilai, dan kesan yang kita tinggalkan. Jika orang bisa menjawab pertanyaan "Apa yang saya dapat dari mengikuti dia?" tanpa ragu, berarti personal branding kita mulai terbentuk. Tapi jika mereka bingung, kita hanyalah salah satu dari jutaan akun di luar sana.

Membangun branding dan kepercayaan memang tidak instan. Ini proses yang dimulai dari mengenali diri sendiri---apa yang kita tawarkan, untuk siapa, dan kenapa orang harus percaya. Lalu, menampilkannya secara konsisten. Setiap foto, tulisan, atau video yang kita buat menjadi bagian dari narasi itu. Orang yang hari ini hanya melihat sekilas, suatu saat akan kembali jika kita terus hadir dengan cara yang sama.

Di tengah arus konten yang deras, hal ini menjadi semakin penting. Microsoft pernah merilis penelitian yang menyebutkan bahwa rentang perhatian manusia kini hanya sekitar delapan detik---lebih pendek dari ikan mas. Artinya, kita tidak punya banyak waktu untuk membuat orang berhenti dan memperhatikan. Jika di detik-detik pertama mereka tidak merasa terhubung, mereka akan berpindah tanpa menoleh lagi.

Karena itu, strategi membangun audiens tidak bisa hanya mengandalkan promosi. Konten harus bernilai. Nilai bisa berarti memberi solusi, menghibur, atau membuat orang merasa dilihat. Dan ini bisa dilakukan tanpa biaya besar. Yang dibutuhkan adalah kejujuran dalam bercerita, kesediaan untuk mendengar, dan konsistensi dalam hadir.

Saya ingat seorang pembuat template desain yang awalnya tidak laku meski produknya bagus. Ia lalu mulai bercerita di media sosial: proses ia membuat desain, kesalahan yang ia temui, bahkan kegagalan-kegagalan kecil. Anehnya, dari cerita-cerita itu justru banyak orang mulai membeli. Mereka merasa mengenalnya, merasa percaya, dan ingin mendukung. Produknya tetap sama, tapi hubungannya dengan audiens berubah.

Itulah inti dari menghindari kegagalan 90% tadi: membangun hubungan sebelum membangun penjualan. Hubungan itu dimulai dari memperkenalkan siapa kita, lalu menjaga kepercayaan lewat konsistensi. Kita bisa memulainya dengan memperbaiki profil media sosial, menyiapkan etalase digital yang rapi---seperti Lynk.id yang memudahkan orang menemukan semua informasi tentang kita---dan mulai membuat konten yang benar-benar berguna.

Apakah ini akan langsung membuat usaha kita meledak? Tidak. Tapi itulah indahnya proses ini. Kita akan membangun sedikit demi sedikit, sambil menanamkan rasa percaya di hati orang. Dan saat mereka siap membeli, mereka tidak akan ragu lagi.

Dunia digital adalah tempat yang ramai, bising, dan cepat berubah. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang tidak pernah berubah: orang membeli dari orang yang mereka percaya. Jadi, sebelum berpikir tentang bagaimana menjual lebih banyak, pikirkan dulu bagaimana membuat orang mengenal dan percaya pada kita. Jika itu berhasil, penjualan hanyalah konsekuensi yang akan datang dengan sendirinya.

Dan jika ingin mempelajari langkah demi langkah membangun personal branding, menyusun strategi konten, dan memaksimalkan etalase digital untuk jualan online, buku Lynk.id & Digital Marketing -- Cara Cerdas Jualan di Era Online bisa menjadi panduan yang lengkap. Buku ini tidak hanya memberi teori, tapi juga cerita dan contoh nyata yang bisa langsung diterapkan.

Baca bukunya di sini: Lynk.id

Karena di dunia digital, keberhasilan bukan milik mereka yang paling cepat, tapi milik mereka yang paling konsisten dan paling bisa dipercaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun