Mohon tunggu...
Fragman Senyap
Fragman Senyap Mohon Tunggu... Penulis

Halo, Fragman Senyap, seorang penikmat kata, pengamat kehidupan, dan penulis lepas yang percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Lahir dan besar di desa kecil, saya tumbuh bersama buku-buku, dialog diam dengan diri sendiri, dan keinginan untuk terus belajar dari kehidupan sehari-hari, sambil tetap menulis sebagai bentuk ekspresi diri dan ruang berbagi pemikiran. Topik yang saya angkat di Kompasiana cukup beragam—mulai dari catatan reflektif, opini sosial, hingga cerita ringan yang menyentuh sisi personal manusia. Saya percaya bahwa menulis bukan hanya soal mengungkapkan, tapi juga soal menyembuhkan. Mari bertukar pikiran, berbagi cerita, dan merayakan makna dari hal-hal kecil bersama. Salam hangat, Fragman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Republik yang Mendidik: Warisan Tan Malaka dan Jalan Menuju Indonesia Emas 2025

27 Juli 2025   07:30 Diperbarui: 20 Juli 2025   16:18 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah keramaian diskusi tentang bonus demografi, kurikulum baru, dan visi Indonesia Emas 2045, satu pertanyaan mendasar sering kali luput diajukan: republik ini ingin menjadi apa, dan ingin membentuk manusia macam apa? Jika pertanyaan itu kita ajukan kepada Tan Malaka, jawabannya mungkin tidak terdengar teknokratis atau berbasis indikator global. Ia mungkin akan menjawab pelan, tegas, dan menyentuh akar masalah: "Bangunlah manusia, maka republik akan menyusul."

Dalam skenario sejarah alternatif yang dituangkan dalam buku "Skenario Alternatif Jika Tan Malaka Presiden Pertama Indonesia", kita tidak hanya diperlihatkan Indonesia yang merdeka lebih cepat, tetapi juga lebih jujur. Republik yang dibangun bukan dengan janji manis para elite, melainkan dengan keringat petani, suara buruh, dan keberanian guru desa. Bukan diplomasi meja bundar, melainkan revolusi meja belajar.

Dan justru dari situlah kita bisa memetik arah baru pembangunan manusia Indonesia menuju 2045.

Pendidikan Bukan Tambahan, Tapi Fondasi

Tan Malaka, dalam imajinasi buku ini, tidak mendirikan kementerian pendidikan di bawah struktur birokrasi yang gemuk. Ia mengangkat seorang guru perempuan dari desa sebagai Menteri Pendidikan---bukan karena gelar, tetapi karena pengabdiannya yang nyata. Ia percaya bahwa pendidikan bukan hanya soal angka partisipasi sekolah, tetapi soal pembebasan akal dan pembentukan karakter rakyat.

"Negara bukan perusahaan. Kita tidak mencari untung, kita menyelamatkan nyawa," ujar Tan dalam rapat kabinet pertama. Dan pendidikan, dalam konteks ini, adalah penyelamat. Ia menyelamatkan rakyat dari ketidaktahuan, dari ketertundukan, dan dari takdir yang dibentuk oleh sistem lama.

Apa yang dilakukan Tan? Ia tidak menunggu sekolah berdiri dari dana pusat. Ia mendorong pembentukan sekolah rakyat dari rumah ke rumah. Buku-buku yang dulu dibakar, kini dibacakan setiap malam lewat radio rakyat. Guru-guru bukan hanya mengajar, tapi ikut panen, ikut gotong royong, dan menjadikan pelajaran bukan sekadar teori, tapi bagian dari hidup.

People Development: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat

Gagasan people development hari ini sering kali dipersempit dalam bentuk pelatihan vokasional, sertifikasi keterampilan, atau program reskilling tenaga kerja. Itu penting. Tetapi dalam republik versi Tan Malaka, pembangunan manusia adalah hal yang holistik---ia menyentuh akal, tubuh, dan hati.

Buruh bukan hanya diajari teknik produksi, tapi juga makna nilai tukar. Petani bukan hanya diberi benih unggul, tapi juga pemahaman soal ekonomi pasar dan hak atas tanah. Dan anak-anak? Mereka bukan hanya dilatih membaca dan berhitung, tapi juga dipupuk untuk mencintai kejujuran, kebersamaan, dan kerja nyata.

Transformasi yang terjadi bukan top-down. Ia datang dari bawah. Dari desa. Dari kepercayaan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin, selama mereka mengerti penderitaan orang lain. Dalam pembangunan seperti ini, manusia tidak dilatih menjadi mesin produksi, tetapi menjadi pemikir dan pembangun yang sadar tujuan.

Indonesia Emas Tanpa Manusia Emas Adalah Ilusi

Kita boleh menetapkan target: pendapatan per kapita Rp300 juta per tahun di 2045, kontribusi industri 30% dari PDB, atau menjadi lima besar ekonomi dunia. Tetapi siapa yang akan menjalankan semua ini jika kita tidak mendidik rakyat dengan visi jangka panjang?

Tan Malaka tidak membangun jalan tol atau gedung tinggi. Tapi ia membangun jalan pemahaman. Dalam satu tahun, ia menurunkan angka buta huruf 30% hanya dengan mobilisasi guru rakyat dan sekolah informal. Ia tidak menjanjikan revolusi digital, tapi ia menciptakan revolusi kesadaran, di mana setiap warga merasa berhak tahu, dan berkewajiban untuk belajar.

Itulah makna "republik yang mendidik". Sebuah republik yang tidak membiarkan rakyatnya hanya jadi objek kebijakan, tetapi menjadi subjek sejarah. Sebuah republik di mana pembangunan manusia bukan tugas kementerian, tapi ruh dari seluruh pembangunan nasional.

Warisan yang Relevan untuk Hari Ini

Apa relevansi warisan Tan Malaka dalam imajinasi sejarah ini bagi Indonesia Emas 2045?

Pertama, keberanian untuk berpihak pada rakyat terbawah. Dalam buku ini, pembangunan dimulai dari desa. Dari sawah. Dari balai desa dan lumbung padi. Pembangunan SDM hari ini pun tidak boleh hanya fokus pada kota dan teknologi tinggi, tetapi harus merata, adil, dan membumi.

Kedua, integrasi antara pendidikan, ekonomi, dan etika. Tan Malaka tidak memisahkan pelajaran dengan pangan. Tidak memisahkan sekolah dengan sawah. Ia membuktikan bahwa pembangunan manusia sejati bukan hanya soal skill, tapi juga sikap.

Ketiga, kesadaran bahwa pembangunan manusia adalah kerja kolektif. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam gerakan "Bangun Diri" misalnya, semua warga menyumbang waktu untuk republik: ada yang mengajar, menanam, memperbaiki jembatan. Indonesia Emas hanya bisa dicapai jika seluruh rakyat merasa terlibat dan memiliki arah.

Kita Tidak Terlambat

Mungkin Tan Malaka tidak pernah menjadi presiden dalam kenyataan sejarah kita. Tapi pemikirannya, keberaniannya, dan jejaknya masih bisa kita ikuti. Buku ini mengajak kita membayangkan ulang apa itu kemerdekaan, dan lebih penting lagi, apa arti menjadi manusia Indonesia.

Menuju 2045, kita punya segala peluang: teknologi, SDM muda, posisi geopolitik, dan dukungan global. Tapi semua itu akan jadi kosong jika kita tidak membangun manusianya lebih dulu---manusia yang sadar, jujur, dan merdeka berpikir.

"Tanpa rakyat, tak ada masa depan," begitu salah satu kalimat dalam buku ini. Dan hari ini, tugas kita adalah membuktikan bahwa masa depan itu masih bisa kita rebut---dengan mendidik, membangun, dan mempercayai manusia Indonesia.

dapatkan bukunya di sini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun