Mohon tunggu...
Rania Wahyono
Rania Wahyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

Mencari guru sejati

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

8 Alasan Mengapa Orang Memilih Menunda dan Tidak Mau Menikah

15 Februari 2024   16:30 Diperbarui: 15 Februari 2024   16:31 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menunda atau tidak menikah merupakan sebuah pilihan hidup. Foto: pexels.com/Olga

Masyarakat sempat dihebohkan dengan pernyataan Leony Fitria Hartanti, mantan penyanyi cilik personel Trio Kwek Kwek. Leony secara tegas dan terang-terangan mengaku tidak memiliki keinginan untuk menikah dan punya anak. Keinginan tersebut juga telah diutarakan kepada orang tuanya.

Lain lagi dengan cerita teman saya, Doni. Di usianya yang hampir 40 tahun, secara finansial sudah terbilang mapan. Usaha restoran dan coffee shop nya sukses dan memiliki beberapa cabang di kota lain. Punya rumah, mobil, life style terkini dan tergolong royal mengeluarkan uang. Ketika banyak orang menunda pernikahan karena merasa belum mapan, Doni yang notabene sudah terbilang mapan malah menyatakan tidak ingin menikah.

Setelah tren childfree, menunda menikah(waithood) dan tidak menikah mengalami peningkatan di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan juga Asia yang dipelopori oleh Jepang, Korea dikuti China.

Pemerintah di negara tersebut mulai pusing karena banyak generasi muda warga negaranya yang tidak mau menikah dan punya anak meskipun akan diberi fasilitas subsidi dan tunjangan anak. Tren menunda menikah ini sepertinya kini juga mulai merambah ke Indonesia. 

Pergeseran Norma Sosial Budaya 


Menikah telah lama dianggap sebagai bagian penting dalam kehidupan seseorang yang identik dengan cinta, penerimaan dan komitmen. 

Pepatah temukan jodohmu, jatuh cinta, menikah lalu hidup bahagia selamanya telah menjadi standart kebahagiaan di masyarakat. Pernikahan menjadi sebuah kewajiban untuk mencapai kehidupan yang sempurna.

Namun semakin banyak generasi muda dari berbagai belahan dunia yang memilih untuk menunda pernikahan mereka. Fenomena ini mencerminkan perubahan budaya, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi pandangan dan prioritas generasi baru. 

Tren pernikahan di dunia termasuk Indonesia menunjukkan penurunan sejak tahun 2000-an hingga tahun 2023, sementara tingkat perceraian terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indonesia mengalami penurunan jumlah signifikan anak muda usia 25-35 tahun yang tercatat sudah menikah. 

Penyebab Tren Menunda dan Tidak Menikah di Kalangan Generasi Muda

Beberapa teman-teman saya yang memilih untuk tetap melajang memiliki beberapa alasan mengapa mereka menunda menikah atau tidak ingin menikah. Simak alasannya berikut ini.

1. Trauma Hubungan Masa Lalu

Trauma hubungan masa lalu bisa menjadi penyebab untuk menunda dan tidak menikah bagi sebagian orang. Seseorang yang pernah mengalami patah hati, pelecehan, pengkhianatan atau hubungan yang tidak sehat di masa lalu dapat memiliki trauma luka mendalam yang bertahan lama.

Mereka mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya dari luka tersebut. Bekas luka ini dapat menciptakan mental block, sebuah penghalang yang membuat seseorang merasa tidak nyaman dengan suatu hubungan dan pernikahan. Pada akhirnya mereka memilih untuk tidak menikah demi menjaga kesehatan mental diri mereka dari rasa sakit.

2. Ketakutan akan Kegagalan Pernikahan

Pernah mengalami, menyaksikan atau tinggal bersama orang tua yang bercerai sehingga mempengaruhi sudut pandang mereka pada pernikahan. 

Dampak emosional dan mental akibat KDRT yang dialami oleh orangtuanya seperti kekerasan verbal, pertengkaran atau kekerasan fisik akan meninggalkan trauma yang sulit hilang apalagi bila terjadi saat anak masih kecil. Belum lagi dampak keuangan yang ditimbulkan akibat perceraian. 

Ditambah pula saat mendengar kabar perceraian dari keluarga dekat, teman dan lingkungan yang mereka kenal. Gambaran pasangan harmonis dan nyaris sempurna seperti pasangan selebritis atau pesohor ternyata juga berakhir dengan perceraian dan kadang ada yang berakhir dengan negosiasi yang tidak damai yang memberikan dampak buruk yang lebih besar pada anak-anak.

Mereka takut mengulangi pola yang sama, mengalami rasa sakit dan kekecewaan karena pernikahan yang gagal. Sehingga lebih memilih menghindari kesalahan yang sama untuk mencegah potensi rasa sakit akibat perpisahan. Bagi mereka dengan tetap melajang dapat memberikan rasa aman dan ketenangan pikiran.

3. Menjaga Kesehatan Mental dan Emosional

Memikirkan tentang pernikahan beserta tanggung jawab dan tuntutannya dapat memicu kecemasan dan stress bagi sebagian orang. Beberapa orang mungkin khawatir dan menganggap bahwa tuntutan emosional dan kompleksitas pernikahan dapat memperburuk masalah kesehatan mental mereka. 

Belum lagi persoalan hidup yang semakin kompleks, tingkat stress yang tinggi pada pekerjaan dan tuntutan sosial yang tinggi turut mempengaruhi pada penurunan minat untuk menikah.

Mereka ingin memprioritaskan pada kesejahteraan emosional dan kesehatan mental serta pengalaman hidup mereka sendiri dengan menghindari potensi kerentanan dari sebuah pernikahan. 

4. Focus pada Pendidikan, Karier dan Pilihan Hidup yang Lebih Luas

Perubahan sosial dan kemajuan zaman telah membuka pintu bagi generasi muda untuk menjelajahi pilihan hidup yang lebih luas. Persaingan ketat dalam meraih kesuksesan karier dan pencapaian menjadi jauh lebih penting, sehingga mereka lebih memprioritaskan pengembangan diri dan perjalanan hidup mereka daripada kompromi yang mungkin diperlukan dalam pernikahan.

Bentuk pernikahan dianggap memerlukan pengorbanan yang signifikan dan potensi hambatan terutama di kalangan wanita. Beberapa orang masih ada yang menganut pola konservatif dan patriaki dimana urusan domestik rumah tangga dan kepengurusan anak menjadi tugas dan tanggung jawab wanita sepenuhnya.

Bisa jadi mereka mungkin diharuskan untuk tinggal di rumah atau memiliki tanggung jawab yang dapat mengikat mereka. Lalu hidup menjadi stagnan dan tidak dapat lagi mewujudkan impian mereka. 

Akibatnya banyak wanita yang lebih memilih melajang karena enggan melakukan pengorbanan tersebut ketika mereka masih dalam proses pengembangan karier dan menemukan potensi diri.

5. Kemandirian Finansial 

Ketika menikah berarti terlibat dengan tanggung jawab keuangan rumah tangga, hutang bersama, aset, bahkan keluarga besar dari pasangan ada juga yang menuntut hak nafkah keuangan. 

Masalah keuangan dapat menjadi salah satu faktor dalam keputusan untuk menghindari pernikahan. Pernikahan menyebabkan berbagi tanggung jawab keuangan dan aset yang dapat menjadi sumber stress dan konflik. 

Tak jarang ada yang harus menerima kenyataan pahit bahwa ternyata pasangannya hanya mengincar harta warisan dan memanfaatkan dari sisi material saja. 

Memiliki kendali penuh atas keuangan sendiri jauh lebih baik dan menjadi pilihan. Sehingga lebih memilih melajang demi mempertahankan kemandirian dan menghindari potensi konflik keuangan dalam pernikahan. 

6. Kebebasan Menentukan Pilihan Hidup

Memilih untuk menunda atau tidak menikah karena mereka menghargai kebebasan dalam menentukan otonomi hidupnya. Pernikahan adalah komitmen seumur hidup dan dapat menimbulkan saling ketergantungan yang mungkin tidak sejalan dengan tujuan dan gaya hidup mereka.

Pasangan yang posesif dan pencemburu akan berusaha untuk mendominasi dan mengekang pasangannya. Keputusan harus melalui persetujuan dan kesepakatan bersama walaupun akhirnya salah satu pihak yang harus mengalah. 

Dengan tetap melajang mereka dapat mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan bersama dan mempertahankan kendali atas urusan pribadi dan keuangan. Mempunyai hak untuk menentukan dan menjalani kehidupan sosialnya sendiri. 

7. Menjadi Tulang Punggung Keluarga

Tugas dan tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga tidak hanya terbatas pada aspek finansial, tetapi termasuk juga aspek emosional dan mental. Seperti kewajiban menyekolahkan adik-adiknya sampai lulus, memenuhi kebutuhan keluarga dan merawat orang tua yang sakit atau lanjut usia. 

Mereka lebih memprioritaskan kebutuhan dan kesejahteraan keluarga mereka di atas kebutuhan pribadi mereka sendiri. Hal tersebut membuat sulit untuk memikirkan dalam membangun kehidupan baru dengan pasangan beserta tanggung jawab tambahan yang mengikuti.

Menunda menikah karena menjadi tulang punggung keluarga bukanlah keputusan yang mudah, tetapi sering kali merupakan pilihan yang dibuat karena rasa cinta dan tanggung jawab terhadap keluarga.

8. Perubahan Konsep Kebahagiaan dan Kesempurnaan Hidup

Norma sosial terkait pernikahan telah berubah seiring waktu. Sebagian orang meyakini bahwa pernikahan bukan satu-satunya sumber kebahagiaan dan standart kesempurnaan hidup. 

Mereka mungkin telah memilih jalan alternatif untuk menemukan kebahagiaan dan kepuasan dan tidak mencari kebahagiaan dalam pernikahan.

Banyak orang mungkin akan bertanya "Kapan menikah?" dikarenakan usia yang semakin bertambah sehingga menimbulkan tekanan sosial untuk segera menikah. Padahal hal tersebut hanyalah stigma sosial dan standart budaya yang dibuat oleh masyarakat setempat yang harus diterima.

Tetapi jika tidak bisa memenuhinya, tidak harus mengikutinya, bukan? Toh yang nanti akan menjalani hidup juga diri kita sendiri. Mereka yang masih single tetap dapat hidup bersama saling menghormati, mencintai, dan mendukung satu sama lain dengan semua orang.

*****

Keputusan untuk menunda menikah atau tidak menikah adalah keputusan yang sangat pribadi dan sudah melalui pertimbangan matang atas segala konsekuensi dan tanggung jawab dari keputusan tersebut. Pergeseran dan perubahan budaya, norma sosial, dan prioritas juga memainkan peran penting dalam keputusan mereka. 

Kita wajib untuk menghormati pilihan hidup masing-masing individu tanpa harus menilai, menghakimi, mengkritik dan merasa yang paling benar karena setiap orang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri sesuai dengan sudut pandang mereka dalam menemukan kebahagiaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun