Mohon tunggu...
Rania Wahyono
Rania Wahyono Mohon Tunggu... Freelancer

Mencari guru sejati

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

5 Alasan Mengapa TikTok Shop Bisa Membunuh UMKM Indonesia

21 September 2023   20:07 Diperbarui: 19 Desember 2023   17:41 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjualan melalui live streaming. Foto:pexels.com/Liza Summer

Perkembangan TikTok menjadi fenomena yang luar biasa di seluruh dunia. Meskipun berasal dari China namun pengguna aktif terbesarnya adalah dari Amerika diikuti oleh Indonesia. 

TikTok mampu memaksa penguasa pasar sebelumnya seperti Instagram dan YouTube harus berinovasi mengeluarkan fitur terbaru mereka supaya tidak tergilas oleh TikTok.

Sejak diluncurkannya TikTok Shop, banyak kreator yang bermunculan untuk mempromosikan produknya, menjadikan Tiktok Shop sebagai wadah bagi pemasaran produk para pelaku usaha serta memberi peluang baru mendapatkan penghasilan sebagai TikTok Affiliate.

Namun diantara pencapaian dan dampak positif dari TikTok Shop, ternyata TikTok Shop juga membawa kerugian dan membunuh UMKM di Indonesia. Mengapa demikian, berikut alasannya.

1. Platform Social Media yang Berubah Menjadi Social Commerce

TikTok tidak akan menjadi masalah kalau hanya sebatas sosial media dan hiburan. Pasca peluncuran video pendek dengan format vertikal yang sangat digemari dan membuat kecanduan, TikTok memasukkan social commerce melalui TikTok Shop sebagai bagian integral dalam strategi bisnisnya. 

Social commerce adalah sebuah platform dimana kita dapat berkreasi dengan konten, berinteraksi, berkirim pesan, berjualan, berbelanja hingga bertransaksi melalui satu platform yang sama.  

Berbeda dengan e-commerce yang menggunakan website atau aplikasi yang berfungsi khusus untuk transaksi jual beli, social commerce merujuk pada transaksi jual beli yang dilakukan langsung melalui platform media sosial.

Dengan menggabungkan sosial media dan e-commerce akan menimbulkan problem baru karena akan berada di ranah abu-abu yang tidak terregulasi apapun. Ketika tidak ada pengawasan dan tidak ada regulasi maka akan timbul adanya  dominasi dan monopoli yang mungkin terjadi terutama dalam hal sistem pembayaran, distribusi dan logistik.

Adanya mekanisme tanpa regulasi, produsen dari luar bebas menjual produknya langsung ke konsumen. Pabrik dapat jualan langsung ke konsumen. Produsen dari luar Indonesia tidak perlu membuka kantor perwakilan di Indonesia, cukup bekerjasama dengan TikTok agar produknya dipromosikan dan dijual di TikTok Shop kemudian dapat bertransaksi langsung dengan konsumen. Berapa banyak potensi penerimaan negara yang hilang.

Hingga saat ini belum ada aturan mengenai keharusan pemisahan antara platform media sosial dan e-commerce. Sehingga berjualan di social commerce saat ini masih seperti di hutan rimba, karena social commerce sampai sekarang  belum ada peraturan dan regulasinya.

2. Bebas Menentukan Algoritma Produk Apa yang Akan Dinaikkan.

TikTok Shop memiliki potensi untuk menyalahgunakan besarnya pengaruh sosial media untuk membunuh pengusaha lokal karena pada akhirnya algoritma TikTok lah yang menentukan produk mana yang akan mereka naikkan dan produk mana yang tidak akan mereka naikkan.

Ketika algoritma ini sudah memilih produk apa yang mau dipromosikan, maka jelas jangkauannya akan lebih luas, engagement-nya lebih tinggi dan probabilitas produk itu untuk laku juga jauh lebih besar.

Dan percaya atau tidak, hal itu sudah terjadi sekarang di segmen kosmetik atau Skin Care. Awalnya produk Indonesia masih berada di lima besar produk paling laku, sekarang sudah didominasi oleh dua produk skincare dari China yang memiliki harga lebih murah dan kualitas yang sama dengan produk lokal.

Masifnya promosi dua produk skincare tersebut dan selalu berada di halaman paling depan yang mudah dilihat oleh konsumen membuat angka penjualannya meningkat pesat dan selalu berada di peringkat atas produk kosmetik dan skincare paling laku. Belum lagi review para influencer yang memberi nilai tambah sehingga membuat skincare lokal semakin tenggelam.

Banyak kreator dari program affiliate kini lebih banyak mempromosikan produk-produk import terutama dari China mulai dari produk rumah tangga, elektronik sampai beauty dan fashion. Akhirnya produk dari China lah yang menguasai market Indonesia mengalahkan produk-produk lokal unggulan dalam negeri.

Mengapa mereka bisa menguasai market Indonesia, mengapa produk tertentu selalu viral. Jawabannya adalah karena TikTok menghendakinya. Bahkan ada indikasi kalau TikTok cenderung melakukan shadow banning kepada produk-produk kompetitor yang mana mayoritas adalah produk-produk lokal.

Jika ini terus terjadi dan volume transaksi terus naik yang menjadi korban jelas produk-produk lokal yang  digantikan dengan produk-produk pilihan TikTok dan Indonesia akan dibanjiri barang-barang import.

3. Predatory Pricing

Predatory pricing atau menjual barang di bawah harga pokok produksi tengah marak di TikTok Shop. Produk yang dijual harganya sering tidak masuk akal seperti tas wanita seharga Rp 5000, jaket berbahan wool dijual Rp 10.000 dan sebagainya. Dan bagaimana bisa menjual dengan harga semurah itu, sampai sekarang masih menjadi misteri.

Hal tersebut tentu sangat merugikan pelaku UMKM karena membuat UMKM tidak mampu bersaing menghadapi persaingan tidak sehat dengan strategi banting harga. Seperti ada seorang produsen jilbab menjual jilbabnya di harga Rp 20.000 dengan margin keuntungan hanya Rp 500, tapi ada produk yang sama dijual dengan harga Rp 3000 dan Rp 5000 dengan bahan dan kualitas yang sama.

Selain dijual dengan diskon gila-gilaan melalui flash sale dan great sale, TikTok Shop juga menggandeng para artis atau influencer sebagai penjualnya melalui live streaming yang mampu meraup omzet hingga milyaran. Live streaming penjualan di TikTok Shop dengan melibatkan artis dan influencer diduga merupakan bagian dari praktek Predatory Pricing.

4. Bebas Menggunakan Data 

Selama kita mendengar kisah sukses para seller TikTok Shop, selama jutaan transaksi terjadi maka selama itu pula TikTok menambang data dari para penggunanya.

TikTok mengetahui hampir seluruhnya mulai dari produk apa saja yang diminati, siapa saja yang membelinya, berapa banyak jumlah penjualannya, kapan waktu yang paling tepat untuk menjualnya, kemana saja produk dikirimkan hingga berbagai variabel data penting yang lain.

Data-data tersebut tentu saja sangat bernilai dan dapat diolah serta digunakan untuk keperluan apa saja yang bisa menghasilkan keuntungan. Mereka dapat mengembangkan aplikasinya sesuai dengan perilaku penggunanya untuk meningkatkan jumlah transaksi. Selain itu juga dapat menjual spot iklan kepada para advertiser untuk menarget audience yang tepat.

5. Produk Lintas Batas Melalui Project S

Dengan menggunakan basis data yang ada maka dengan mudah TikTok dapat memotong jalan dengan memproduksi dan menjual produk-produknya sendiri yang paling laris dan viral melalui Project S.

Inisiasi menjual produk sendiri lewat Project S TikTok sudah lebih dulu ada di Inggris. Produk-produk yang sedang populer dan menjadi trend di Inggris kemudian diproduksi sendiri di China lalu dijual kembali di TikTok Shop melalui fitur Trendybeat.

Di Inggris hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah besar karena ekonomi mereka tidak ditopang oleh industri-industri kecil atau UMKM.Tapi jika ini sampai terjadi di Indonesia maka UMKM dan perekonomian Indonesia jelas akan terguncang. 

Menanggapi isu yang bergulir pihak TikTok Indonesia menegaskan bahwa tidak ada bisnis lintas batas di Indonesia dan Project S tidak akan masuk ke Indonesia untuk saat ini.

Jika isu mengenai Project S terbukti benar, dan pada akhirnya masuk ke Indonesia tanpa ada regulasi sudah jelas akan mengancam para pelaku usaha karena mereka dapat dengan mudah mengambil pangsa pasar yang sebelumnya diisi UMKM lokal.

Namun jika kita amati saat ini pun pasar e-commerce dibanjiri oleh barang-barang import. Pada akhirnya pelaku usaha dan para affiliate lebih memilih menjadi reseller produk import yang harganya murah daripada menjual produk produksi sendiri yang harganya tidak mampu bersaing.

***

Pemerintah perlu segera mengambil tindakan untuk melindungi pelaku UMKM dengan memisahkan TikTok sebagai sosial media yang diatur oleh Kominfo dan Tiktok sebagai e-commerce dibawah pengawasan Kementerian Perdagangan. 

Menkop UKM, Teten Masduki menyatakan kekhawatirannya mengenai TikTok Shop yang lama-lama akan membunuh UMKM lokal. Beliau mengakui kalau Indonesia terlambat mengatur platform digital e-commerce dan social commerce, akibatnya didikte oleh platform digital global. Menkop meminta Kemendag membuat aturan yang lebih ketat untuk platform social commerce karena saat ini, belum ada aturan yang mengatur social commerce.

Referensi: https://www.republika.id/posts/45624/dugaan-predatory-pricing-tiktok-shop-yang-mengancam-umkm

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun