Dahulu, menulis buku adalah bentuk ekspresi yang paling serius dan mendalam. Ketika seseorang merasa gelisah terhadap ketidakadilan, ingin menggugat tatanan, atau sekadar mencatat zamannya, ia akan memilih jalan panjang: menulis. Buku menjadi ruang untuk menyampaikan gagasan secara utuh, melewati proses berpikir yang sabar dan penuh pertimbangan.
Buya Hamka, misalnya, menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan sekadar untuk bercerita, tetapi sebagai bentuk kritik sosial terhadap budaya Minangkabau yang saat itu dianggap terlalu kaku dalam urusan adat dan perjodohan. Novel itu lahir dari keresahan mendalam akan ketimpangan antara nilai adat dan nilai kemanusiaan. Ia memilih buku sebagai medium karena hanya melalui tulisan panjang gagasannya bisa diurai dengan logika, emosi, dan nilai-nilai moral yang tidak cukup dijelaskan lewat opini pendek.
Contoh lain datang dari Tan Malaka, yang menulis Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika, untuk merespons kegelisahannya terhadap pola pikir masyarakat Indonesia yang saat itu masih sangat dipengaruhi oleh mistik dan kepercayaan tanpa dasar ilmiah. Ia percaya bahwa pembangunan bangsa tidak mungkin terjadi tanpa fondasi berpikir yang rasional dan empiris. Dalam bukunya, Tan Malaka tidak hanya melontarkan kritik, tetapi juga membangun sistem berpikir yang menyeluruh. Buku menjadi wadahnya untuk menyampaikan ide-ide besar yang tidak bisa disampaikan lewat selebaran politik atau orasi revolusioner.
Namun, tradisi seperti ini kini kian langka. Semangat untuk menyuarakan keresahan memang tetap ada, tetapi bentuk dan mediumnya telah bergeser. Di era media sosial, seseorang dapat dengan mudah menuliskan status, membuat video pendek, atau menyusun utas singkat yang langsung menjangkau ribuan orang. Data dari Statista pada tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 4,9 miliar orang di dunia kini aktif menggunakan media sosial, menjadikannya saluran utama untuk menyampaikan opini dan ekspresi diri. Cukup satu unggahan dan keresahan pun tersalurkan, lengkap dengan validasi berupa tanda suka atau komentar dari warganet.
Perubahan ini bukan semata-mata mencerminkan kemalasan atau kekosongan gagasan. Justru sebaliknya, ini menunjukkan pergeseran dalam cara berpikir dan logika insentif. Menulis buku adalah proses yang sunyi, lambat, dan penuh ketidakpastian. Media sosial, di sisi lain, menawarkan kecepatan, jangkauan luas, serta umpan balik yang segera. Menurut laporan Reedsy, platform penyedia jasa penerbitan, waktu rata-rata untuk menyelesaikan satu buku nonfiksi berkisar antara enam bulan hingga lebih dari satu tahun. Dalam rentang waktu yang sama, seorang pengguna aktif media sosial bisa menghasilkan ratusan konten, membangun audiens, bahkan mendapatkan penghasilan tanpa perlu mencetak satu halaman pun.
Platform digital juga secara tidak langsung mengubah cara kita berpikir dan menulis. X, TikTok, dan Instagram mendorong kita untuk membuat konten yang ringkas, emosional, dan mudah dibagikan. Struktur narasi panjang sulit bersaing dalam lanskap yang didesain untuk digulirkan cepat. Sebuah studi dari Microsoft pada tahun 2019 bahkan menunjukkan bahwa rata-rata rentang perhatian manusia kini hanya sekitar delapan detik, lebih pendek dari ikan mas, akibat pola konsumsi digital yang serba cepat dan dangkal.
Selain itu, alasan lain mengapa orang kini jarang menulis buku adalah karena memang semakin sedikit pula yang mau membaca buku. Minat baca yang rendah menciptakan lingkaran yang saling memperlemah. Ketika membaca dianggap tidak relevan atau terlalu merepotkan, maka menulis juga dianggap sebagai aktivitas yang sia-sia. Mengapa bersusah payah menyusun ratusan halaman jika hanya sedikit orang yang benar-benar akan membacanya sampai selesai? Data UNESCO dan beberapa survei nasional juga menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun. Ini menjadi tantangan besar bagi para penulis maupun calon penulis.
Tentu, bukan berarti media sosial sepenuhnya buruk. Ia membuka ruang baru bagi ekspresi dan partisipasi yang lebih luas. Siapa pun kini bisa bersuara, tanpa harus menunggu restu dari penerbit besar atau redaksi media. Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap dampaknya terhadap budaya berpikir. Media sosial membentuk pola komunikasi yang cepat, singkat, dan penuh gangguan. Dalam iklim seperti ini, praktik berpikir mendalam dan menulis panjang menjadi sesuatu yang semakin langka.
Laporan dari WordsRated pada tahun 2021 mencatat bahwa meskipun produksi buku secara global tetap stabil, semakin banyak penulis muda lebih memilih mengekspresikan diri melalui blog, podcast, atau media sosial. Mereka menilai proses penerbitan buku terlalu panjang, terlalu mahal, dan terlalu tidak pasti hasilnya.
Namun justru karena kelangkaannya itulah buku menjadi semakin berharga. Di tengah kebisingan dunia digital, buku menawarkan ruang yang lebih tenang. Di tengah kecepatan, ia menawarkan waktu untuk memperlambat dan merenung. Buku memungkinkan ide berkembang dengan mendalam, argumen dibangun dengan runtut, dan sudut pandang dibentuk dengan pemikiran yang jernih. Buku bukan hanya tentang isi, tetapi juga tentang proses berpikir yang terstruktur dan reflektif.
Membaca buku pun menjadi tindakan yang berbeda. Ia bukan sekadar konsumsi informasi, melainkan sebuah pengalaman intelektual. Ia mengajak kita untuk duduk lebih lama, berpikir lebih dalam, dan menyimak lebih jujur. Dalam dunia yang semakin bising, pengalaman semacam ini menjadi semakin langka sekaligus berharga.