Pagi itu, langit belum sepenuhnya biru saat Hamid tiba di TPS 07. Ia menarik napas panjang, lalu menyapa rekan-rekannya di bawah tenda biru yang baru saja berdiri.
Hari ini, dia resmi jadi petugas KPPS. Bukan karena ambisi jadi penyelnggara, tapi karena ingin tahu lebih dekat dunia demokrasi---dan, sejujurnya, karena dia butuh uang tambahan buat bayar UKT.
Semua berjalan biasa, sampai datang seorang gadis mengenakan kaos putih dan jaket abu-abu, dengan nametag bertuliskan: "Alin -- Saksi Independen."
"Maaf, TPS 07 ya? Saya ditugaskan di sini," ucapnya ramah. Suaranya ringan, tapi cukup menggema di dada Hamid.
"Iya, sini aja. Duduk dulu... capek kan habis jalan?" kata Hamid, sok santai padahal jantungnya deg-degan kayak TPS-nya baru kena gugatan.
Sejak saat itu, pagi jadi lebih cepat dan siang tak terasa panas.
Alin bukan gadis yang banyak bicara. Tapi kalau bicara, selalu berisi. Kadang soal hak pilih, kadang tentang kenapa demokrasi itu penting.
"Aku heran, masih banyak yang cuek sama pemilu. Padahal suara satu orang bisa jadi penentu masa depan," ujarnya suatu siang, saat TPS sepi.
Hamid mengangguk. "Iya, aku juga. Dulu mikirnya, ya udahlah... toh suara kita kecil. Tapi makin ke sini, aku sadar: kalau semua orang mikir gitu, ya hancur juga ini negara."
Alin tersenyum. "Akhirnya kamu sadar juga ya, Pak KPPS."