Mohon tunggu...
Ramli Ondang Djau
Ramli Ondang Djau Mohon Tunggu... Man In Black

Ayah dari 3 putri, penikmat kopi dan menulis tinggal di Gorontao

Selanjutnya

Tutup

Politik

DESAIN PEMILU DAN KETEGANGAN POLITIK: Antara Judicial Activism dab Legislative Resistence

14 Juli 2025   12:28 Diperbarui: 14 Juli 2025   14:00 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desain sistem pemilu adalah fondasi krusial bagi setiap negara demokratis, menentukan tidak hanya mekanisme sirkulasi kekuasaan tetapi juga kualitas representasi dan legitimasi pemerintahan. Di Indonesia, isu ini kerap menjadi medan tarik ulur kepentingan politik, di mana intervensi yudisial dan respons legislatif seringkali memicu ketegangan yang signifikan. Perdebatan mengenai desain pemilu bukan sekadar teknis, melainkan inheren dengan implikasi politik, sosial, dan bahkan konstitusional yang mendalam.

Dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan fenomena yang menarik sekaligus problematis: semakin aktifnya peran lembaga yudikatif, khususnya Mahkamah Konstitusi (MK), dalam menafsirkan dan bahkan mengubah norma-norma kepemiluan yang telah ditetapkan oleh legislatif. Ini adalah manifestasi dari apa yang sering disebut sebagai judicial activism, sebuah pendekatan di mana pengadilan mengambil peran proaktif dalam membentuk kebijakan publik melalui interpretasi hukum.

Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK, seringkali menyoroti dinamika ini sebagai bagian dari proses pendewasaan demokrasi. Menurutnya, "Mahkamah Konstitusi sebagai 'penjaga konstitusi' memiliki mandat untuk memastikan bahwa setiap regulasi, termasuk undang-undang pemilu, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ini adalah bagian dari mekanisme checks and balances yang esensial." Namun, batas antara penafsiran dan pembentukan hukum seringkali menjadi kabur, memicu perdebatan sengit.

Di sisi lain spektrum, kita melihat legislative resistance, yakni resistensi dari lembaga legislatif terhadap putusan-putusan yudisial yang dianggap mengintervensi domain pembentukan undang-undang. Resistensi ini dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari keengganan untuk menindaklanjuti putusan, upaya revisi undang-undang untuk membatalkan efek putusan, hingga kritik terbuka terhadap independensi dan legitimasi putusan yudisial.

Ketegangan antara judicial activism dan legislative resistance ini bukanlah fenomena baru, namun intensitasnya belakangan semakin terasa. Hal ini bukan hanya tentang siapa yang berhak menentukan aturan main, tetapi juga tentang bagaimana legitimasi kekuasaan dapat dipertahankan di tengah perebutan interpretasi konstitusi. Desain pemilu, yang seharusnya menjadi kesepakatan politik bersama, seringkali menjadi korban dari tarik ulur ini.

Ambil contoh isu ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Putusan MK yang mengikat seringkali mengubah lanskap politik secara signifikan, memaksa partai-partai politik untuk beradaptasi dengan aturan main baru. Namun, adaptasi ini tidak selalu berjalan mulus. Ada argumen bahwa putusan semacam itu justru mempersempit ruang gerak politik dan membatasi partisipasi, terutama bagi partai-partai kecil.

Prof. Denny Indrayana, seorang pakar hukum tata negara, pernah menyatakan keprihatinannya terhadap potensi judicial overreach. "Meskipun MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang, batas antara penafsiran konstitusi dan perumusan kebijakan publik yang seharusnya menjadi ranah DPR haruslah jelas. Ketika MK terlalu jauh masuk ke ranah kebijakan, hal itu berpotensi mengikis prinsip pemisahan kekuasaan," ujarnya.

Sebaliknya, para pendukung judicial activism berpendapat bahwa intervensi yudisial adalah perlu ketika legislatif gagal melindungi hak-hak konstitusional warga negara atau ketika terjadi kemacetan politik dalam perumusan kebijakan yang adil. Mereka melihat MK sebagai benteng terakhir untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam sistem politik yang seringkali didominasi oleh kepentingan pragmatis.

Pandangan ini didukung oleh Prof. Satya Arinanto, yang menekankan peran MK sebagai penafsir utama konstitusi. "Dalam konteks demokrasi modern, MK seringkali menjadi harapan terakhir bagi warga negara yang hak-hak konstitusionalnya merasa terlanggar oleh produk legislasi. Peran proaktif MK dalam menafsirkan konstitusi adalah bagian tak terpisahkan dari penguatan supremasi hukum," jelasnya.

Namun, resistensi legislatif tidak bisa dipandang sebelah mata. Partai-partai politik dan anggota parlemen seringkali merasa bahwa putusan yudisial mengganggu kedaulatan legislatif dan proses politik yang telah mereka bangun. Mereka berargumen bahwa perubahan fundamental dalam desain pemilu sebaiknya melalui proses politik yang partisipatif di parlemen, bukan melalui putusan pengadilan yang kerap dianggap kurang representatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun