Dulu guru itu identik dengan kapur tulis. Tangannya putih, bukan karena kesucian hati, tapi karena kapur yang beterbangan ke mana-mana. Kalau musim hujan, papan tulis jadi karya abstrak: antara tulisan guru dan noda air, sulit dibedakan.
Sekarang, zamannya beda. Kapur sudah pensiun, diganti spidol. Spidol pun sering hilang entah kemana, biasanya dibawa pulang murid untuk dijadikan alat prakarya. Lalu datanglah era laptop, proyektor, WiFi, dan... boom! Artificial Intelligence.
Tiba-tiba guru dituntut bukan cuma bisa menjelaskan rumus kuadrat, tapi juga harus tahu bedanya ChatGPT dengan chatbot pinjaman online.
Bayangkan situasi kelas hari ini. Guru baru menjelaskan definisi demokrasi, tiba-tiba seorang murid angkat tangan, "Pak, menurut Google bukan begitu." Selesai sudah wibawa yang dibangun sejak pagi.
Di zaman saya sekolah, murid itu takut sama guru. Sekarang? Guru yang deg-degan kalau salah ngomong, karena murid bisa langsung "fact check" pakai HP. Kalau dulu guru bisa main gertak, sekarang murid bisa bilang, "Bentar, Pak, saya cek dulu di Wikipedia."
Lalu datanglah AI. Murid sekarang kalau dapat PR, bukan lagi merenung semalaman, tapi cukup ketik: "Buatkan esai tentang dampak globalisasi 500 kata." Klik. Jadi. Nilainya bisa lebih bagus dari guru Bahasa Indonesia sendiri.
Guru yang dulu pusing memeriksa PR, sekarang pusing membedakan mana tulisan asli murid, mana hasil AI. Murid kadang ketahuan karena bahasanya terlalu indah. Bayangkan anak SMP yang biasanya nulis "saya tidak tau pak" tiba-tiba menulis "tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi mengikis identitas budaya lokal." Siapa yang tidak curiga?
Pertanyaan klasik pun muncul: kalau semua soal bisa dijawab AI, guru ini buat apa?
Saya kasih jawabannya singkat: guru tetap dibutuhkan, minimal untuk ngasih nilai. Tapi lebih dari itu, guru adalah manusia yang bisa marah sambil bercanda, bisa menepuk pundak murid yang patah hati, bisa tahu siapa yang lapar di kelas karena wajahnya pucat. AI tidak bisa melakukan itu.
Coba bayangkan: murid datang terlambat, lalu guru AI menegur dengan suara robot, "Anda melanggar tata tertib sekolah pasal 7." Apa ada rasa? Tidak ada. Padahal teguran guru manusia kadang lebih ngena, apalagi kalau diselipi humor: "Kamu telat ya? Tadi jalan kaki sambil nungguin gebetan lewat ya?"