Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Remedial: Antara Kesabaran Guru dan Hak Siswa

22 September 2025   20:32 Diperbarui: 22 September 2025   20:32 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Belajar Mengajar

Kalau di dunia sekolah ada istilah "remedial", di dunia nyata itu sama aja kayak "coba lagi, jangan nyerah." Tapi entah kenapa, di kelas sering diperlakukan kayak hukuman. "Selamat, kamu gagal. Silakan ikut remedial." Rasanya kayak dapet undangan hajatan, tapi ternyata hajatan utang.

Padahal kalau dipikir, remedial itu mestinya semacam safety net. Anak nggak nangkep pelajaran? Kasih kesempatan lagi. Masalahnya, sering kali remedial cuma ganti tanggal, bukan ganti cara. Soal sama, gaya ngajar sama, harapannya beda. Lha piye? Kalau resepnya sama, masakan tetap gosong. Itu bukan remedial, itu sekadar replay penderitaan.

Coba bayangkan, murid gagal Matematika, disuruh ngerjain soal Matematika yang sama lagi. Itu mirip kayak orang gagal move on, terus disuruh mantengin foto mantan tiap malam. Bukannya sembuh, malah makin stres.

Remedial yang bener itu harusnya kayak tukang becak: tahu kapan harus turun dorong becaknya sendiri, bukan malah nyuruh penumpang lompat. Guru seharusnya ikut nimbrung, pakai cara lain. Kadang cukup jelasin pakai contoh receh: bola, nasi goreng, atau sinetron. Jangan pakai bahasa seminar nasional, anak malah ngantuk.

Ada juga yang gagal bukan karena otaknya error, tapi karena loncatan soalnya kebangetan. Baru belajar jalan, langsung disuruh lari maraton. Baru ngerti tambah-kurang, tiba-tiba dikasih persamaan alien. Ya jelas pingsan di jalan. Jadi remedial mestinya step by step. Mulai gampang banget, terus naik pelan-pelan.

Dan jangan lupa, remedial bisa juga praktik. Anak gagal teori IPA? Suruh coba eksperimen bikin gunung meletus dari soda kue. Anak bingung bikin narasi Bahasa Indonesia? Ajak bikin komik strip. Karena kadang paham itu datang dari tangan, bukan dari halaman.

Tapi, ya, ada juga remedial gaya males. Nilai dinaikkin aja tanpa belajar ulang. Itu bukan remedial, itu sulap nilai. Otak murid tetap jongkok. Ada juga remedial disulap jadi hukuman: disuruh bersih-bersih kelas, nulis seribu kali, atau dikasih label "bodoh". Itu bukan remedial, itu bully pakai seragam resmi.

Harusnya remedial jadi jembatan, bukan jebakan. Tempat anak merasa, "Oh ternyata aku masih punya kesempatan." Karena yang paling bahaya dari gagal bukan nilainya, tapi rasa minder yang nempel lama. Kalau remedial cuma formalitas, yang gagal bukan muridnya, tapi sistem pendidikannya.

Dan jujur aja, guru juga harus ikut bercermin. Kalau 20 murid gagal di soal yang sama, jangan-jangan masalahnya bukan di murid, tapi di cara ngajarnya. Mungkin materinya terlalu cepat, atau penjelasannya terlalu ribet. Makanya sebelum kasih soal, mending guru coba ngerjain dulu. Kalau gurunya sendiri keningnya ikut berkerut, ya jangan heran muridnya ikut nangis bareng.

Orang tua pun jangan panik. Anak ikut remedial bukan berarti dunia kiamat. Cukup bilang, "Wajar, Nak. Semua orang pernah jatuh. Yang penting coba lagi." Dukungan kecil kayak gitu kadang lebih mujarab daripada seribu nasihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun