Mohon tunggu...
Ramdhani Adinegoro
Ramdhani Adinegoro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA semester 1 TA 2013/2014 fak. Ilmu Sosial dan Humaniora. prodi Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Media Dalam Wacana Postmodernisme

17 Desember 2013   10:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:50 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya merasa perlu untuk mempersoalkan ( lagi ) postmodernisme dengan semangat bertanya-tanya yang jernih ketimbang terburu memperolokkannya, karena jangan-jangan memperolokkan wacana postmodernisme justru menandakan kedangkalan berpikir saya tersendiri.

Dalam wacana ilmu komunikasi kontemporer, setidaknya diwakili tulisan Dominic Strinati (1995) konsep postmodernisme dipergunakan untuk menggambarkan dan menganalisis aspek penting dalam kebudayaan kontemporer dan kehidupan sosial umumnya.  Menurut Strinati, konsep postmodern terkait dengan beberapa karakter berikut ini :

Runtuhnya batasan antara kebudayaan dan masyarakat.

Postmodernisme dipakai untuk menggambarkan munculnya suatu tatanan sosial yang di dalamnya mengedepankan betapa penting dan kuasanya media massa serta budaya populer. Media massa dan segala rupa budaya populer mengendalikan  bahkan membentuk hubungan sosial yang lainnya. Gagasan pokok yang dikumandangkan : tanda-tanda kebudayaan populer dan citraan media secara signifikan berkembang dan mengendalikan penginderaan kita tentang realitas dan  menentukan bagaimana kita mendefinisikan diri dan dunia di sekitar kita.Inilah yang kemudian dikenal sebagai keadaan sosial yang dipenuhi oleh media (a media-saturated society ).Media massa pada suatu saat memang pernah diasumsikan sebagai sebuah cermin dan ia merefleksikan realitas sosial. Kini, justru realitas itu hanya bisa didefinisikan melalui pantulan dari permukaan cermin  itu tadi. Masyarakat lalu diasumsikanada di dalam media massa. Media lalu menjadi semacam simulator yang berkuasa  mendestorsirealitassesungguhnya. Lebih jauh lagi, dalam konsep postmodernisme menjadi sulit untuk memisahkan antara realitas ekonomi dengan budaya populer. Tindakan komsumsi misalnya, yakni apa yang kita beli dan apa yang menentukan apa yang sesungguhnya kita konsumsi, semakin dipengaruhi oleh kebudayaan populer. Dengan kata lain,  konsumsi semakin terikat dengan budaya populer karena budaya populerlah yang menentukan konsumsi.

Penekanan pada gaya ketimbang substansi dan isi.

Keadaan ini merupakan implikasi dari kondisi di atas, dalam postmodernisme hal-hal yang ada di permukaan dan gaya menjadi lebih penting dan mengumandangkan semacam“designer ideology “. Atau dalam terminologi Harvey ( 1989 ),”images dominate narrative”. Masyarakat secara berangsur memang mengkonsumsi citra dan tanda-tanda demicitraan itu sendiri ketimbang karena alasan kemanfaatannya atau karena nilai-nilai yang mungkin memang terpendam dalam bentuk simbolisasinya. Kita mengkonsumsi citra dan tanda tepatnya karena ia adalah citra dan tanda itu semata tanpa mempertanyakan nilai atau kegunaannya. Sebagai akibatnya, kualitas semisal spirit seni, integritas, keseriusan, keotentikan, realitas, kedalaman intelektual dan narasi lainnya senderung makin diabaikan. Selain itu, melalui teknologi virtual komputer seseorang bisa mengalami berbagai bentukpengalamansebagaitangan kedua. Simulasi permukaan inilah yang karenanya secara potensial bisa menggantikan pengalaman kehidupan sejati seseorang.

Runtuhnya batasan antara kebudayaan ( seni) tinggi dengan kebudayaan populer.

Jika tanda-tanda kebudayaan populer dan citraan media mengambil alih pendefinisian kita terhadap realitas di luar sana, dan jika itu berarti gayalebih penting ketimbangisi, maka lalu menjadi sulitlah kita membedakan antara  seni dan kebudayaan populer.Tak lagi ada kriteria yang jelas yang bisa memilahkan antara seni dengan bentuk kebudayaan populer. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran yang ditujukan pada munculnya kebudayaan massa yang kemudian mengecilkan makna kebudayaan adi luhung.

Kekacauan dalam hal ruang dan waktu.

Kesadaran seseorang akan waktu kini makin terkacaukan karena waktu yang tengah berjalan dengan waktu yang akan terjadi ( kekinian dan keakanan ) kini makin terkompresi sedemikian rupa. Pertumbuhan yang sangat cepat tentang konsep ruang global dan waktu sebagai akibat dari dominasi media massa telah menyebabkan konsep ruang dan waktu terdistorsi dan membingungkan. Laju perpindahan kapital, uang dan informasi serta kultural telah mengganggu pergerakan waktu linier dan kemapanan ruang geografis.

Hiperialitas Media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun