Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Media Dalam Wacana Postmodernisme

17 Desember 2013   10:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:50 219 0
Saya merasa perlu untuk mempersoalkan ( lagi ) postmodernisme dengan semangat bertanya-tanya yang jernih ketimbang terburu memperolokkannya, karena jangan-jangan memperolokkan wacana postmodernisme justru menandakan kedangkalan berpikir saya tersendiri.

Dalam wacana ilmu komunikasi kontemporer, setidaknya diwakili tulisan Dominic Strinati (1995) konsep postmodernisme dipergunakan untuk menggambarkan dan menganalisis aspek penting dalam kebudayaan kontemporer dan kehidupan sosial umumnya.  Menurut Strinati, konsep postmodern terkait dengan beberapa karakter berikut ini :

Runtuhnya batasan antara kebudayaan dan masyarakat.

Postmodernisme dipakai untuk menggambarkan munculnya suatu tatanan sosial yang di dalamnya mengedepankan betapa penting dan kuasanya media massa serta budaya populer. Media massa dan segala rupa budaya populer mengendalikan  bahkan membentuk hubungan sosial yang lainnya. Gagasan pokok yang dikumandangkan : tanda-tanda kebudayaan populer dan citraan media secara signifikan berkembang dan mengendalikan penginderaan kita tentang realitas dan  menentukan bagaimana kita mendefinisikan diri dan dunia di sekitar kita.Inilah yang kemudian dikenal sebagai keadaan sosial yang dipenuhi oleh media (a media-saturated society ).Media massa pada suatu saat memang pernah diasumsikan sebagai sebuah cermin dan ia merefleksikan realitas sosial. Kini, justru realitas itu hanya bisa didefinisikan melalui pantulan dari permukaan cermin  itu tadi. Masyarakat lalu diasumsikanada di dalam media massa. Media lalu menjadi semacam simulator yang berkuasa  mendestorsirealitassesungguhnya. Lebih jauh lagi, dalam konsep postmodernisme menjadi sulit untuk memisahkan antara realitas ekonomi dengan budaya populer. Tindakan komsumsi misalnya, yakni apa yang kita beli dan apa yang menentukan apa yang sesungguhnya kita konsumsi, semakin dipengaruhi oleh kebudayaan populer. Dengan kata lain,  konsumsi semakin terikat dengan budaya populer karena budaya populerlah yang menentukan konsumsi.

Penekanan pada gaya ketimbang substansi dan isi.

Keadaan ini merupakan implikasi dari kondisi di atas, dalam postmodernisme hal-hal yang ada di permukaan dan gaya menjadi lebih penting dan mengumandangkan semacam“designer ideology “. Atau dalam terminologi Harvey ( 1989 ),”images dominate narrative”. Masyarakat secara berangsur memang mengkonsumsi citra dan tanda-tanda demicitraan itu sendiri ketimbang karena alasan kemanfaatannya atau karena nilai-nilai yang mungkin memang terpendam dalam bentuk simbolisasinya. Kita mengkonsumsi citra dan tanda tepatnya karena ia adalah citra dan tanda itu semata tanpa mempertanyakan nilai atau kegunaannya. Sebagai akibatnya, kualitas semisal spirit seni, integritas, keseriusan, keotentikan, realitas, kedalaman intelektual dan narasi lainnya senderung makin diabaikan. Selain itu, melalui teknologi virtual komputer seseorang bisa mengalami berbagai bentukpengalamansebagaitangan kedua. Simulasi permukaan inilah yang karenanya secara potensial bisa menggantikan pengalaman kehidupan sejati seseorang.

Runtuhnya batasan antara kebudayaan ( seni) tinggi dengan kebudayaan populer.

Jika tanda-tanda kebudayaan populer dan citraan media mengambil alih pendefinisian kita terhadap realitas di luar sana, dan jika itu berarti gayalebih penting ketimbangisi, maka lalu menjadi sulitlah kita membedakan antara  seni dan kebudayaan populer.Tak lagi ada kriteria yang jelas yang bisa memilahkan antara seni dengan bentuk kebudayaan populer. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran yang ditujukan pada munculnya kebudayaan massa yang kemudian mengecilkan makna kebudayaan adi luhung.

Kekacauan dalam hal ruang dan waktu.

Kesadaran seseorang akan waktu kini makin terkacaukan karena waktu yang tengah berjalan dengan waktu yang akan terjadi ( kekinian dan keakanan ) kini makin terkompresi sedemikian rupa. Pertumbuhan yang sangat cepat tentang konsep ruang global dan waktu sebagai akibat dari dominasi media massa telah menyebabkan konsep ruang dan waktu terdistorsi dan membingungkan. Laju perpindahan kapital, uang dan informasi serta kultural telah mengganggu pergerakan waktu linier dan kemapanan ruang geografis.

Hiperialitas Media

Bahasan tentang postmodernisme di atas, meski hanya sekilas, cukup memberikan gambaran tentang zaman atau peradaban di mana media massa sebagai salah satumakhluk-nya hidup dan berkiprah. Salah satu watak media massa yang kemudian berkembang dalam asuhan zaman postmodernisme itu adalah watak media yang cenderunghiperialis.

Istilah hiperialitas media (hyper-riality of media) diperkenalkan oleh Jean Baudrilard untuk menjelaskan perekayasaan ( dalam pengertian distorsi ). Dalam wacanaposmediayakni adanya sembiose antara realitas dan fantasi media, hiperealitas media diyakini berkembang ketika media dikendalikan oleh dua kekuatan utama yakni kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Objektivitas, kebenaran, keadilan dan makna sebagi kepentingan publik lalu dikalahkan oleh subjektivitas, kesemuan, dan permainan bahasa (language game). Media massa boleh jadi mencoba untuk merepresentasikan peristiwa – peristiwa secara objektif, jujur, adil, transparan  akan tetapi, berbagai bentuk  tekanan dan kepentingan ideologis telah menyebabkan media terperangkap  ke dalam  politisasi media dan hiperialitas media yang tidak menguntungkan publik.

Ketika media dikendalikan oleh berbagai kepentingan ideologi di baliknya maka, ketimbang menjadi cermin realitas (mirror of reality), media sering dituduh sebagai perumus realitas (definer of reality) sesuai dengan ideologi yang melandasinya ( Bennet, 1982 ). Beroperasinya ideologi  di balik media, tidak dapat dipisahkan dari mekanisme ketersembunyian dan ketidaksadaran yang merupakan kondisi dari keberhasilan sebuah ideologi. Artinya, sebuah ideologi itu menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat media secara tersembunyi dan ia merubah pandangan setiap orang secara tidak sadar ( Gramsci dalam Mouffe 1979 ).

Selain faktor tekanan ideologi dan kekuatan ekonomi, hiperialitas media juga dipicu oleh perkembangan teknologi media yang dikenal sebagai teknologi simulasi.  Simulasi sebagaimana diperkenalkan oleh Baudrillard (1983) adalah penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul atau referensi realitas. Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri yang disebutsimulacrum.

Hiperalitas media mewarnai dengan sangat kental kehidupan komunikasi politik di Indonesia sejak zaman Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi sekarang ini. Kita masih ingat tatkala Orde Baru berkuasa media massa dipenuhi oleh tontonan simulakrum mulai dari simulakrum konflik SARA, simulakrum konflik kekerasan antar partai dst. Di awal Orde Reformasi kita pun disuguhi paket simulakrum sandiwara peradilan mantan presiden Soeharto yang sesungguhnya hanyalah citra dan penanda artifisial yang tujuannya adalah demi popularitas rezim penguasa yang baru.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun