Mohon tunggu...
MRAMDANI LIBAHNONGI
MRAMDANI LIBAHNONGI Mohon Tunggu... UIN JAKARTA

swiming and gamers

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia

19 Juli 2025   18:11 Diperbarui: 19 Juli 2025   18:11 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada setiap individu tanpa diskriminasi, termasuk terhadap kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan. Dalam konteks Indonesia, perlindungan terhadap kedua kelompok ini telah memperoleh perhatian khusus, baik melalui instrumen hukum nasional maupun ratifikasi instrumen internasional seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan Convention on the Rights of the Child (CRC).[1] Meski demikian, pelanggaran terhadap hak-hak anak dan perempuan masih terjadi secara meluas dalam bentuk kekerasan domestik, eksploitasi, diskriminasi struktural, hingga ketidaksetaraan akses terhadap keadilan.

Lembaga-lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan berbagai lembaga layanan perlindungan di tingkat daerah memiliki mandat strategis untuk memastikan hak-hak anak dan perempuan. Peran mereka tidak hanya dilihat dari perspektif hukum, seperti dalam hal pengawasan pelaksanaan undang-undang, pelaporan kasus pelanggaran HAM, dan advokasi kebijakan, tetapi juga dari pendekatan non-hukum seperti edukasi masyarakat, pemberdayaan korban, dan kampanye publik.

 Dari perspektif teori, kajian ini relevan dianalisis melalui pendekatan Theory of Human Rights Protection yang menekankan pentingnya sinergi antara negara dan lembaga independen dalam menciptakan sistem perlindungan yang efektif. Selain itu, Feminist Legal Theory juga digunakan untuk membaca bagaimana struktur hukum yang maskulin dapat meminggirkan perempuan dan anak sebagai subjek hukum. Pendekatan ini berkontribusi dalam memahami tidak hanya norma-norma formal yang ada, tetapi juga konteks sosial-politik dan budaya yang memengaruhi efektivitas perlindungan hak asasi manusia.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis kritis terhadap peran lembaga perlindungan anak dan perempuan dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, baik dari perspektif hukum (peraturan, kewenangan, efektivitas implementasi) maupun non-hukum (pendekatan sosial, budaya, psikologis), serta menghubungkannya dengan teori-teori yang relevan. Diharapkan hasil dari kajian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah yang signifikan dalam memperkuat sistem perlindungan HAM yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan kelompok yang rentan.  

  • DASAR HUKUM DAN KELEMBAGAAN DALAM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN

whatsapp-image-2025-07-19-at-17-50-29-c900239a-687b788aed641559a30615b2.jpg
whatsapp-image-2025-07-19-at-17-50-29-c900239a-687b788aed641559a30615b2.jpg
Perlindungan anak dan perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia di Indonesia memiliki dasar hukum yang cukup kuat dalam sistem perundang-undangan nasional serta dalam kerangka hukum internasional yang telah diratifikasi oleh negara. Dasar ini tidak hanya penting untuk menunjukkan komitmen negara terhadap perlindungan kelompok yang rentan, tetapi juga berfungsi sebagai fondasi normatif bagi pembentukan dan berfungsinya lembaga-lembaga perlindungan yang memiliki mandat hukum yang jelas.

Secara konstitusional, Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal ini merupakan norma dasar yang mengikat seluruh lembaga negara untuk menjamin hak anak sebagai hak konstitusional yang setara dengan hak warga negara lainnya. Dalam konteks perempuan, Pasal 28I ayat (2) menyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Norma-norma tersebut kemudian diperjelas dan diimplementasikan melalui perangkat perundang-undangan khusus.

Dalam rangka perlindungan anak, salah satu regulasi yang paling penting adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Undang-undang ini menegaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan perlindungan anak. Di dalamnya terdapat pengaturan khusus tentang perlindungan dari kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi seksual dan ekonomi, serta perdagangan anak. Undang-undang ini juga menjadi dasar bagi pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang disebut secara khusus dalam Pasal 74 sebagai lembaga independen yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan anak secara nasional.

Dalam konteks perlindungan perempuan, regulasi yang krusial dan menjadi dasar hukum adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Undang-undang ini memperluas definisi kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dalam aspek fisik, tetapi juga mencakup psikologis, seksual, dan penelantaran dalam lingkungan rumah tangga.

Undang-undang ini menyediakan kerangka hukum bagi aparat penegak hukum, pekerja sosial, dan tenaga medis untuk memberikan perlindungan serta penanganan yang menyeluruh terhadap para korban. Selain itu, penguatan aspek hukum terhadap kekerasan berbasis gender juga tercermin dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang lebih luas cakupannya dan memberikan pengakuan terhadap hak korban, termasuk hak atas pemulihan, pendampingan, dan rehabilitasi.

Dalam konteks hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi dua konvensi penting yang berkaitan langsung dengan perlindungan anak dan perempuan, yakni Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, dan Convention on the Rights of the Child (CRC) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.[1] Kedua konvensi tersebut mengharuskan negara untuk melakukan langkah-langkah legislatif, administratif, dan kelembagaan guna menjamin perlindungan menyeluruh bagi perempuan dan anak dari diskriminasi serta kekerasan. Dengan demikian, keberadaan lembaga seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan wujud nyata dari kewajiban negara dalam menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam konvensi internasional tersebut. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 sebagai respons terhadap berbagai kekerasan berbasis gender, terutama yang marak terjadi dalam masa transisi politik dan konflik sosial.

KPAI dan Komnas Perempuan, sebagai dua lembaga utama dalam perlindungan anak dan perempuan, memiliki peran yang sangat strategis. Peran tersebut mencakup pemantauan, pemberian rekomendasi kebijakan, advokasi hukum, serta pendampingan bagi korban. Namun, dalam praktiknya, kedua lembaga ini masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu masalah yang paling mendesak adalah adanya tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia, serta lemahnya koordinasi antara lembaga pusat dan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat dasar hukum yang kuat, efektivitas kelembagaan tidak dapat dijamin tanpa adanya sistem kelembagaan yang responsif dan sinergis.

Dalam perspektif Legal System Theory dari Lawrence M. Friedman, keberhasilan sistem hukum tidak hanya ditentukan oleh substansi hukum (aturan dan undang-undang), tetapi juga oleh struktur hukum (lembaga yang menjalankan hukum) dan kultur hukum (kesadaran dan nilai masyarakat).

  • SINERGI LEMBAGA PERLINDUNGAN DENGAN INSTITUSI NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

Perlindungan hak anak dan perempuan dalam konteks penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dipisahkan dari pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk institusi negara, lembaga independen, dan organisasi masyarakat sipil. Kompleksitas masalah kekerasan dan diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok rentan memerlukan kerja sama lintas sektor yang berkelanjutan dan terintegrasi. Lembaga perlindungan seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) tidak dapat bekerja secara soliter, melainkan harus membangun jejaring kemitraan yang kuat dengan aktor negara seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, aparat penegak hukum, serta komunitas lokal dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Sinergi antara lembaga-lembaga ini semakin krusial mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dan anak. Sebagai contoh, dalam kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak di lingkungan pendidikan atau rumah tangga, penanganan kasus tersebut tidak hanya memerlukan pendekatan hukum melalui proses peradilan, tetapi juga memerlukan pendekatan sosial, psikologis, dan kultural. Dalam hal ini, kerja sama antara Komnas Perempuan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelatihan aparat penegak hukum tentang pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) merupakan langkah strategis dalam membangun aparat yang lebih peka terhadap korban kekerasan berbasis gender. Pelatihan ini menekankan pentingnya penyidikan yang tidak menyudutkan korban dan menghindari reviktimisasi dalam proses hukum.

Di sisi lain, KPAI bersinergi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mewujudkan program Sekolah Ramah Anak sebagai strategi preventif untuk menekan angka kekerasan dan diskriminasi terhadap anak di lingkungan sekolah. Sekolah Ramah Anak mendorong pendekatan pendidikan yang inklusif, tidak diskriminatif, dan menempatkan hak anak sebagai fokus utama dalam kebijakan pendidikan. Keberhasilan implementasi program ini tidak dapat dicapai tanpa adanya kolaborasi antara dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, komite sekolah, serta orang tua siswa. Ini menunjukkan bahwa pendekatan perlindungan hak asasi manusia terhadap anak memerlukan keterlibatan berbagai pihak dalam satu ekosistem perlindungan yang menyeluruh.

Keterlibatan masyarakat sipil juga memiliki kontribusi besar dalam memperkuat peran lembaga perlindungan. Berbagai LSM seperti LBH APIK, Yayasan Pulih, Rifka Annisa, serta lembaga internasional seperti UNICEF dan Plan International berperan aktif dalam mendampingi korban, menyelenggarakan pendidikan publik, serta mempengaruhi kebijakan melalui advokasi berbasis data. Misalnya, kerja sama Komnas Perempuan dengan Yayasan Pulih dalam penyusunan Pedoman Layanan Terpadu Berbasis Korban telah memberikan panduan praktis bagi penyedia layanan di tingkat daerah dalam menangani korban kekerasan secara menyeluruh dan bermartabat.

Sinergi yang efektif juga membutuhkan dukungan sistem teknologi informasi dan integrasi data antarlembaga. Dalam praktiknya, salah satu tantangan yang kerap muncul adalah tidak sinkronnya data kasus antara lembaga yang berbeda. Komnas Perempuan, KPAI, dan KPPPA memiliki sistem pelaporan masing-masing yang belum sepenuhnya terhubung, sehingga menyulitkan proses pemantauan kasus secara real-time dan lintas wilayah. Padahal, integrasi sistem informasi menjadi krusial untuk mempercepat respons terhadap kasus darurat serta untuk menganalisis pola kekerasan yang terjadi di masyarakat secara akurat.

Dari sudut pandang teori, sinergi lembaga perlindungan ini dapat dianalisis menggunakan pendekatan Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa perlindungan HAM tidak dapat hanya bergantung pada peran negara sebagai pemegang kekuasaan formal. Perlindungan yang efektif memerlukan partisipasi aktif dari lembaga independen, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Dengan kata lain, HAM tidak hanya ditegakkan melalui kekuatan negara (state-based power), tetapi juga melalui penguatan kelembagaan di luar negara (non-state actors) yang mampu menjangkau kelompok rentan secara langsung dan peka terhadap kebutuhan mereka. Teori ini menempatkan lembaga seperti Komnas Perempuan dan KPAI sebagai pilar penting dalam sistem perlindungan HAM modern yang bersifat desentralistik dan berbasis komunitas. Lebih jauh lagi, sinergi ini perlu menjunjung prinsip intersectionality, yang mengakui bahwa pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak tidak berdiri sendiri, melainkan beririsan dengan isu sosial lainnya seperti kemiskinan, disabilitas, etnisitas, dan lokasi geografis. Oleh karena itu, strategi perlindungan perlu dirancang dengan mempertimbangkan konteks dan bersifat inklusif, melibatkan peran tokoh adat, pemuka agama, serta pemimpin komunitas dalam mengungkap praktik-praktik sosial yang mendukung kekerasan atau diskriminasi terhadap perempuan dan anak.

Dalam pelaksanaan kebijakan publik, kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan ini telah mulai terwujud melalui mekanisme Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak, baik di tingkat nasional maupun daerah. Gugus tugas ini mengumpulkan berbagai elemen pemerintah dan masyarakat sipil untuk menanggapi kasus-kasus darurat serta merancang rencana strategis perlindungan jangka panjang. Namun demikian, efektivitas gugus tugas masih sangat bergantung pada komitmen politik kepala daerah, alokasi anggaran, serta kapasitas kelembagaan di tingkat lokal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sinergi antara lembaga perlindungan, pemerintah, dan masyarakat sipil bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan merupakan dasar utama dalam penegakan hak asasi manusia yang adil dan berkelanjutan bagi anak-anak dan perempuan. Melalui kolaborasi yang terencana, terstruktur, dan partisipatif, sistem perlindungan di Indonesia dapat bertransformasi dari respons reaktif terhadap kekerasan menjadi sistem yang bersifat preventif dan transformatif, yang mendukung terciptanya keadilan sosial.

  • STRATEGI PENGUATAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SEBAGAI PENEGAK HAM

Lembaga yang melindungi anak dan perempuan di Indonesia, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), memiliki peran yang sangat penting sebagai aktor non-yudisial dalam sistem penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, efektivitas mereka dalam melindungi kelompok yang rentan sering kali terhalang oleh berbagai kendala yang bersifat struktural, teknis, maupun kultural. Oleh karena itu, penguatan lembaga-lembaga ini memerlukan strategi yang terencana, menyeluruh, dan berbasis pada prinsip good governance, partisipasi publik, serta perspektif keadilan gender dan anak.

Salah satu strategi utama adalah peningkatan otonomi dan kapasitas kelembagaan. Komnas Perempuan dan KPAI adalah lembaga independen negara yang didirikan berdasarkan mandat konstitusi dan undang-undang. Namun, dalam praktiknya, otonomi mereka sering kali terhambat oleh keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, serta intervensi kebijakan sektoral. Anggaran yang terbatas berdampak pada jangkauan program yang sempit, lemahnya sistem pemantauan, dan kesulitan lembaga ini dalam menjangkau daerah-daerah terpencil yang justru rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan penguatan pendanaan yang bersumber dari APBN dan APBD, serta skema dukungan pendanaan melalui kerja sama multilateral, CSR (corporate social responsibility), dan hibah internasional, tentu dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Strategi selanjutnya adalah memperkuat sistem layanan terpadu yang berfokus pada korban, dengan mengintegrasikan layanan hukum, psikososial, kesehatan, dan ekonomi dalam satu pintu. Saat ini, layanan bagi korban kekerasan terhadap anak dan perempuan masih terpecah-pecah di berbagai instansi, sehingga korban sering kali merasa bingung dalam mengakses layanan. Sebagai contoh, korban kekerasan seksual harus berurusan dengan dinas sosial, dinas kesehatan, kepolisian, dan UPTD secara terpisah, yang sering kali justru menambah beban psikologis dan meningkatkan risiko reviktimisasi. Komnas Perempuan, KPAI, dan UPTD PPA perlu memperkuat integrasi sistem informasi dan mekanisme rujukan antar lembaga, didukung dengan digitalisasi data kasus yang aman, real-time, dan dapat diakses secara nasional untuk keperluan pemantauan dan analisis kebijakan.

Selain itu, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam lembaga perlindungan juga merupakan prioritas strategis. Aparat lembaga harus dilengkapi dengan pelatihan berkelanjutan mengenai pendekatan berbasis korban, perspektif gender, perspektif anak, serta penanganan disabilitas. Banyak kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang tidak ditangani dengan baik karena aparat atau petugas layanan tidak memiliki sensitivitas terhadap trauma korban atau bahkan melakukan diskriminasi berdasarkan stereotipe gender. Dalam konteks ini, kerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan profesional, termasuk lembaga internasional seperti UN Women, UNICEF, dan Plan International, sangat diperlukan untuk memperkaya materi dan metode pelatihan.

Strategi penguatan selanjutnya adalah menciptakan budaya hukum yang mendukung korban melalui pendidikan masyarakat dan advokasi sosial. Lembaga perlindungan tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk menangani kasus, tetapi juga harus berperan aktif dalam upaya transformasi sosial guna menghilangkan budaya patriarki, stigma terhadap korban, dan normalisasi kekerasan. Program-program seperti Sekolah Ramah Anak, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, serta Gerakan Nasional Perlindungan Anak harus diperluas jangkauannya hingga tingkat desa dan komunitas adat, dengan melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan pemuda sebagai agen perubahan. Pendekatan ini sejalan dengan Feminist Legal Theory, yang menekankan bahwa perubahan hukum harus berjalan beriringan dengan perubahan relasi kuasa dalam masyarakat.

Strategi kolaborasi dan partisipasi masyarakat sipil juga merupakan pilar yang sangat penting dalam memperkuat lembaga perlindungan. KPAI dan Komnas Perempuan perlu memperluas kemitraan dengan LSM lokal, media massa, akademisi, serta sektor bisnis dalam menciptakan ekosistem perlindungan anak dan perempuan yang inklusif. Sebagai contoh, kemitraan dengan media dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kampanye kesadaran publik dan mendorong peliputan yang sensitif terhadap korban. Sementara itu, kemitraan dengan dunia usaha dapat diarahkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah gender dan anak.

Akhirnya, strategi penguatan lembaga harus memperhatikan penguatan kerangka hukum dan kebijakan publik. Saat ini, meskipun telah ada berbagai undang-undang yang melindungi perempuan dan anak, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai hambatan, mulai dari inkonsistensi aturan turunan, lemahnya sanksi, hingga minimnya pemantauan dan evaluasi kebijakan. Lembaga perlindungan perlu didukung dengan regulasi yang menguatkan mandatnya, misalnya melalui revisi UU Perlindungan Anak agar lebih adaptif terhadap perkembangan kasus eksploitasi daring, atau penguatan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah tentang layanan perlindungan berbasis HAM. Dalam hal ini, Theory of Human Rights Protection menegaskan bahwa kerangka hukum yang kuat harus berjalan selaras dengan struktur kelembagaan yang mampu menegakkan hukum tersebut secara efektif.

Dengan mengimplementasikan strategi-strategi tersebut, diharapkan lembaga perlindungan anak dan perempuan tidak hanya berfungsi sebagai penjaga garda terakhir, melainkan juga sebagai aktor utama dalam membangun sistem HAM nasional yang responsif, partisipatif, dan adil gender. Strategi ini akan mendukung Indonesia dalam mewujudkan perlindungan HAM yang substantif, yang tidak hanya tercantum di atas kertas, tetapi juga benar-benar dirasakan manfaatnya oleh setiap anak dan perempuan.

  • PERAN NON-HUKUM DALAM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN: EDUKASI, ADVOKASI, DAN PEMBENTUKAN BUDAYA HUKUM

Upaya untuk melindungi anak dan perempuan sebagai kelompok yang rentan dalam masyarakat tidak dapat hanya bergantung pada pendekatan hukum normatif. Meskipun adanya peraturan perundang-undangan merupakan instrumen penting dalam menjamin hak-hak mereka, keberhasilan perlindungan secara menyeluruh sangat tergantung pada strategi non-hukum yang bersifat sosial, kultural, dan psikologis. Pendekatan non-hukum memiliki peran penting dalam membangun kesadaran publik, mengubah pola pikir patriarkal, serta menciptakan lingkungan sosial yang aman dan responsif terhadap kebutuhan perempuan dan anak. Dalam konteks ini, terdapat tiga dimensi utama yang perlu diperhatikan, yaitu edukasi masyarakat, advokasi sosial, dan pembentukan budaya hukum yang mendukung korban.

  • Edukasi sebagai Instrumen Preventif

Edukasi adalah salah satu langkah pencegahan yang sangat penting dalam melindungi anak-anak dan perempuan. Melalui pendidikan publik yang terstruktur, lembaga-lembaga seperti Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berusaha menanamkan nilai-nilai kesetaraan, penolakan terhadap kekerasan, serta penghormatan terhadap hak-hak individu sejak usia dini. Komnas Perempuan secara rutin meluncurkan modul pelatihan untuk aparatur penegak hukum dan masyarakat sipil mengenai pencegahan kekerasan berbasis gender dan pentingnya perlakuan setara terhadap perempuan. KPAI juga mengembangkan program Sekolah Ramah Anak yang berfokus pada pembentukan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan bebas kekerasan.

Edukasi ini tidak hanya terbatas pada lembaga pendidikan formal, tetapi juga menjangkau komunitas melalui forum warga, media sosial, dan penyuluhan yang berbasis masyarakat. Pendekatan ini sangat penting mengingat sebagian besar kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di ruang privat serta dalam hubungan yang tidak seimbang. Ketidakpahaman mengenai berbagai bentuk kekerasan psikologis, seksual, atau ekonomi membuat korban cenderung diam dan enggan melaporkan kasus yang mereka alami.

  • Advokasi sebagai Mekanisme Penguatan Suara Korban

Selain pendidikan, advokasi merupakan elemen krusial dalam memperkuat perlindungan non-hukum. Lembaga-lembaga perlindungan melaksanakan fungsi advokasi baik di tingkat kebijakan maupun di lapangan. Salah satu bentuk advokasi yang efektif adalah publikasi data dan laporan tahunan mengenai kekerasan. Komnas Perempuan setiap tahun menerbitkan Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU) yang mendokumentasikan berbagai jenis kekerasan, pola, pelaku, serta respons institusional terhadap korban. Laporan ini menjadi referensi yang sangat penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, media, dan masyarakat sipil dalam merumuskan program perlindungan yang berbasis bukti (evidence-based).

KPAI juga menjalankan fungsi advokasi terhadap berbagai kasus eksploitasi anak, kekerasan dalam pendidikan, dan pelanggaran hak anak dalam sistem peradilan. Melalui konferensi pers, pertemuan dengan pemangku kepentingan, serta rekomendasi kebijakan, lembaga ini berperan dalam membantu korban untuk mendapatkan akses keadilan dan layanan pendukung, termasuk rehabilitasi psikologis, bantuan hukum, dan perlindungan sosial.

  • Budaya Hukum: Dari Normatif ke Transformasi Sosial

Salah satu tantangan utama dalam perlindungan anak dan perempuan adalah rendahnya kesadaran hukum di masyarakat. Banyak komunitas masih menganggap kekerasan terhadap perempuan sebagai isu domestik yang tidak seharusnya dibawa ke ruang publik. Norma budaya yang patriarkal, penindasan terhadap perempuan, serta norma keheningan yang menganggapnya sebagai "aib keluarga" membuat korban ragu untuk berbicara, bahkan sering kali menyalahkan diri sendiri. Oleh karena itu, pengembangan budaya hukum yang adil gender menjadi prioritas dalam pendekatan non-hukum.

Dalam konteks ini, Teori Hukum Feminis menyediakan kerangka analitis yang sangat penting. Teori ini mengemukakan bahwa hukum sering kali dibentuk dan diterapkan oleh struktur sosial yang didominasi oleh laki-laki, sehingga pengalaman perempuan dan anak sering kali diabaikan atau dianggap tidak rasional. Oleh karena itu, lembaga perlindungan tidak hanya cukup menjalankan hukum yang ada, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk menantang norma-norma hukum dan sosial yang bersifat diskriminatif. Sebagai contoh, penghapusan praktik mediasi dalam kasus kekerasan seksual, pengakuan terhadap kekerasan dalam hubungan pacaran, serta keterlibatan korban dalam proses perumusan kebijakan merupakan bagian dari agenda transformatif yang bertujuan untuk mengubah cara kerja hukum agar lebih mendukung keadilan substantif.

Secara teoritis, pendekatan non-hukum dalam perlindungan HAM ini selaras dengan Theory of Human Rights Protection yang dikemukakan oleh Jack Donnelly. Menurut Donnelly, perlindungan hak asasi manusia yang efektif tidak hanya bergantung pada mekanisme hukum negara, tetapi juga pada kekuatan masyarakat sipil, norma sosial, dan kesadaran kolektif.[1] Pendekatan ini menekankan bahwa hak tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dibudayakan. Oleh karena itu, kolaborasi antara negara, lembaga perlindungan, media, pendidikan, dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk menciptakan sistem perlindungan yang menyeluruh dan berkelanjutan.

  • TANTANGAN STRUKTURAL DALAM PENEGAKAN HAK ANAK DAN PEREMPUAN

ilustrasi tantangan (sumber:https://images.app.goo.gl/SjJeeu9onJACYHfu9)
ilustrasi tantangan (sumber:https://images.app.goo.gl/SjJeeu9onJACYHfu9)

Walaupun Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional dan mengeluarkan sejumlah regulasi nasional yang berkaitan dengan perlindungan anak dan perempuan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hak asasi manusia bagi kelompok ini masih menghadapi tantangan struktural yang signifikan. Tantangan tersebut tidak hanya berasal dari kelemahan dalam sistem hukum dan kelembagaan, tetapi juga dari faktor sosial, budaya, ekonomi, hingga teknologi yang belum sepenuhnya mendukung kepentingan dan kebutuhan perempuan serta anak sebagai kelompok yang rentan.

Salah satu tantangan yang paling mendasar adalah keterbatasan anggaran serta sumber daya manusia di lembaga-lembaga perlindungan seperti KPAI, Komnas Perempuan, dan UPTD PPA di tingkat daerah. Meskipun lembaga-lembaga ini memiliki mandat yang luas, kapasitas operasional mereka sering kali sangat terbatas. Banyak UPTD PPA di daerah yang tidak memiliki psikolog, pekerja sosial, atau tenaga hukum yang cukup untuk menangani laporan kekerasan. Bahkan, dalam beberapa kasus, fasilitas dasar seperti rumah aman dan pusat krisis belum tersedia atau tidak memenuhi standar minimum pelayanan korban. Kekurangan ini mengakibatkan rendahnya kualitas intervensi dan perlindungan bagi korban, terutama di wilayah terpencil atau daerah dengan angka kekerasan tinggi.

Tantangan berikutnya berkaitan dengan budaya patriarki yang mengakar kuat dalam struktur sosial dan keluarga, yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap dianggap sebagai urusan privat dan tabu untuk dibicarakan di ruang publik. Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, banyak perempuan yang ragu untuk melapor karena takut akan dikucilkan, tidak mendapatkan dukungan dari keluarga, atau bahkan dianggap mempermalukan suami dan keluarga besar. Situasi ini semakin diperburuk oleh praktik mediasi dalam proses hukum yang sering diterapkan dalam kasus kekerasan domestik dan seksual, di mana posisi korban justru dilemahkan oleh pendekatan damai yang tidak adil secara gender. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa sistem hukum masih terpengaruh oleh norma sosial yang menormalisasi ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.

Kurangnya integrasi data dan sistem informasi di antara lembaga-lembaga juga merupakan hambatan struktural yang signifikan. Saat ini, data mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebar di berbagai institusi seperti Komnas Perempuan, KPAI, KPPPA, BPS, serta lembaga penegak hukum, tetapi belum terintegrasi dalam satu sistem terpadu yang dapat diakses dan dimanfaatkan secara efektif oleh para pembuat kebijakan dan pelaksana layanan. Akibatnya, penanganan kasus tidak dapat dilakukan secara menyeluruh, dan banyak korban tidak tercatat dalam sistem resmi, sehingga tidak mendapat perlindungan atau pemulihan yang layak. Selain itu, ketidaksinkronan data ini menghambat evaluasi kebijakan dan penyusunan rencana aksi berbasis bukti (evidence-based policy) dalam jangka panjang.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah minimnya perspektif HAM dan keadilan gender di kalangan aparat penegak hukum dan pengambil kebijakan. Dalam banyak kasus, aparat polisi, jaksa, atau hakim masih menunjukkan sikap yang kurang sensitif terhadap korban, seperti menyalahkan korban, mempertanyakan pakaian atau perilaku mereka, hingga menganggap kasus sebagai perkara sepele. Hal ini mencerminkan tidak hanya minimnya pelatihan dan persiapan, tetapi juga lemahnya reformasi budaya di dalam institusi penegakan hukum. Ini menjadi sebuah ironi, mengingat Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU Perlindungan Anak yang mengharuskan penanganan kasus dengan perspektif korban dan hak asasi manusia.

Selain itu, akses yang tidak merata terhadap keadilan juga merupakan tantangan yang nyata, terutama bagi perempuan dan anak-anak di daerah pedesaan, komunitas adat, serta kelompok marjinal lainnya. Banyak di antara mereka yang tidak memahami prosedur hukum, tidak memiliki akses transportasi ke lembaga layanan, atau terhambat oleh kendala bahasa dan budaya. Dalam sejumlah komunitas adat, sistem hukum formal sering kali dianggap tidak relevan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai setempat, sehingga para korban cenderung memilih untuk tidak bersuara atau menyelesaikan masalah melalui cara adat, meskipun hasilnya sering kali tidak menguntungkan bagi korban, terutama perempuan. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya mengintegrasikan pendekatan hukum formal dengan pendekatan kultural yang tetap menjamin prinsip-prinsip HAM universal.

  • KESIMPULAN

Penegakan hak asasi manusia untuk anak dan perempuan di Indonesia adalah agenda yang sangat penting dan telah memiliki dasar hukum yang kuat, baik melalui konstitusi, peraturan nasional, maupun ratifikasi berbagai instrumen internasional seperti CEDAW dan CRC. Negara telah mendirikan berbagai lembaga perlindungan, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD PPA), yang secara struktural dan fungsional diberi mandat untuk melindungi, mendampingi, dan memperjuangkan hak-hak kelompok rentan tersebut. Namun, efektivitas lembaga-lembaga ini dalam praktiknya masih menghadapi berbagai tantangan serius yang bersifat struktural, kultural, teknis, dan politis. Tantangan utama yang dihadapi adalah keterbatasan anggaran, kurangnya sumber daya manusia yang profesional dan peka gender, serta lemahnya koordinasi antar lembaga di tingkat pusat maupun daerah.

Selain itu, budaya patriarki yang masih kuat dalam masyarakat menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dan anak sering dianggap sebagai masalah privat, sehingga korban enggan melapor atau tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Rendahnya literasi hukum, stigmatisasi terhadap korban, dan normalisasi kekerasan dalam rumah tangga juga memperburuk situasi. Dalam aspek kelembagaan, tumpang tindih kewenangan antar instansi dan kurangnya sistem layanan terpadu yang berbasis korban masih menjadi hambatan besar. Fragmentasi data dan informasi antar lembaga menyebabkan lemahnya pengambilan keputusan yang berbasis bukti. Sementara itu, perkembangan bentuk kekerasan baru di ranah digital belum diimbangi dengan kesiapan hukum dan teknis dalam sistem peradilan maupun perlindungan korban.

Di sisi lain, kolaborasi antara negara, lembaga perlindungan, dan organisasi masyarakat sipil telah menunjukkan peran yang signifikan dalam memperkuat sistem perlindungan, baik melalui advokasi kebijakan, edukasi publik, maupun layanan langsung kepada korban. Pendekatan non-hukum melalui pendidikan, kampanye sosial, dan pembentukan budaya hukum yang adil gender juga menjadi elemen kunci dalam transformasi perlindungan HAM yang lebih substansial dan menyeluruh.

Secara keseluruhan, meskipun telah terjadi kemajuan normatif dan kelembagaan, masih diperlukan upaya sistemik dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan dan anak tidak hanya dijamin secara formal, tetapi juga benar-benar dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan pembenahan struktural, penguatan kelembagaan, transformasi sosial, dan kolaborasi lintas sektor, perlindungan terhadap kelompok rentan ini dapat diwujudkan secara adil, setara, dan manusiawi dalam kerangka penegakan HAM di Indonesia.

  • SARAN

perlunya komitmen serius dari seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem perlindungan anak dan perempuan secara menyeluruh, baik dari aspek regulasi, kelembagaan, hingga budaya masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa lembaga-lembaga perlindungan seperti KPAI dan Komnas Perempuan memiliki kapasitas kelembagaan yang memadai melalui alokasi anggaran yang mencukupi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta penguatan wewenang untuk menjalankan mandatnya secara efektif. Di sisi lain, integrasi sistem informasi antar lembaga perlu dikembangkan agar penanganan kasus dapat dilakukan secara cepat, akurat, dan terpadu.

Selain itu, reformasi kebijakan dan sistem layanan harus diarahkan pada pendekatan berbasis korban yang tidak hanya memberikan perlindungan hukum, tetapi juga pemulihan psikologis, sosial, dan ekonomi secara berkelanjutan. Hal ini penting agar korban tidak mengalami reviktimisasi dan dapat kembali menjalani kehidupan dengan bermartabat. Dalam konteks sosial budaya, perubahan paradigma masyarakat terhadap kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, perlu terus didorong melalui edukasi publik dan kampanye kesadaran yang melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, serta media massa sebagai agen perubahan.

Penting pula untuk memperkuat sinergi antara lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil dalam membangun ekosistem perlindungan yang inklusif dan berkelanjutan. Kolaborasi ini harus didasarkan pada prinsip keadilan gender, non-diskriminasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara universal. Dengan pendekatan yang holistik dan transformatif, maka perlindungan terhadap anak dan perempuan dapat diwujudkan tidak hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi juga sebagai cerminan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun