Mohon tunggu...
MRAMDANI LIBAHNONGI
MRAMDANI LIBAHNONGI Mohon Tunggu... UIN JAKARTA

swiming and gamers

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia

19 Juli 2025   18:11 Diperbarui: 19 Juli 2025   18:11 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak dan perempuan Gambar  (Sumber: https://www.google.com/gasearch?q=foto%20perlindungan%20anak%20dan%20perempuan%20dalam%20hukum&udm=2&sou

KPAI dan Komnas Perempuan, sebagai dua lembaga utama dalam perlindungan anak dan perempuan, memiliki peran yang sangat strategis. Peran tersebut mencakup pemantauan, pemberian rekomendasi kebijakan, advokasi hukum, serta pendampingan bagi korban. Namun, dalam praktiknya, kedua lembaga ini masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu masalah yang paling mendesak adalah adanya tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia, serta lemahnya koordinasi antara lembaga pusat dan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat dasar hukum yang kuat, efektivitas kelembagaan tidak dapat dijamin tanpa adanya sistem kelembagaan yang responsif dan sinergis.

Dalam perspektif Legal System Theory dari Lawrence M. Friedman, keberhasilan sistem hukum tidak hanya ditentukan oleh substansi hukum (aturan dan undang-undang), tetapi juga oleh struktur hukum (lembaga yang menjalankan hukum) dan kultur hukum (kesadaran dan nilai masyarakat).

  • SINERGI LEMBAGA PERLINDUNGAN DENGAN INSTITUSI NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

Perlindungan hak anak dan perempuan dalam konteks penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dipisahkan dari pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk institusi negara, lembaga independen, dan organisasi masyarakat sipil. Kompleksitas masalah kekerasan dan diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok rentan memerlukan kerja sama lintas sektor yang berkelanjutan dan terintegrasi. Lembaga perlindungan seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) tidak dapat bekerja secara soliter, melainkan harus membangun jejaring kemitraan yang kuat dengan aktor negara seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, aparat penegak hukum, serta komunitas lokal dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Sinergi antara lembaga-lembaga ini semakin krusial mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dan anak. Sebagai contoh, dalam kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak di lingkungan pendidikan atau rumah tangga, penanganan kasus tersebut tidak hanya memerlukan pendekatan hukum melalui proses peradilan, tetapi juga memerlukan pendekatan sosial, psikologis, dan kultural. Dalam hal ini, kerja sama antara Komnas Perempuan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelatihan aparat penegak hukum tentang pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) merupakan langkah strategis dalam membangun aparat yang lebih peka terhadap korban kekerasan berbasis gender. Pelatihan ini menekankan pentingnya penyidikan yang tidak menyudutkan korban dan menghindari reviktimisasi dalam proses hukum.

Di sisi lain, KPAI bersinergi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mewujudkan program Sekolah Ramah Anak sebagai strategi preventif untuk menekan angka kekerasan dan diskriminasi terhadap anak di lingkungan sekolah. Sekolah Ramah Anak mendorong pendekatan pendidikan yang inklusif, tidak diskriminatif, dan menempatkan hak anak sebagai fokus utama dalam kebijakan pendidikan. Keberhasilan implementasi program ini tidak dapat dicapai tanpa adanya kolaborasi antara dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, komite sekolah, serta orang tua siswa. Ini menunjukkan bahwa pendekatan perlindungan hak asasi manusia terhadap anak memerlukan keterlibatan berbagai pihak dalam satu ekosistem perlindungan yang menyeluruh.

Keterlibatan masyarakat sipil juga memiliki kontribusi besar dalam memperkuat peran lembaga perlindungan. Berbagai LSM seperti LBH APIK, Yayasan Pulih, Rifka Annisa, serta lembaga internasional seperti UNICEF dan Plan International berperan aktif dalam mendampingi korban, menyelenggarakan pendidikan publik, serta mempengaruhi kebijakan melalui advokasi berbasis data. Misalnya, kerja sama Komnas Perempuan dengan Yayasan Pulih dalam penyusunan Pedoman Layanan Terpadu Berbasis Korban telah memberikan panduan praktis bagi penyedia layanan di tingkat daerah dalam menangani korban kekerasan secara menyeluruh dan bermartabat.

Sinergi yang efektif juga membutuhkan dukungan sistem teknologi informasi dan integrasi data antarlembaga. Dalam praktiknya, salah satu tantangan yang kerap muncul adalah tidak sinkronnya data kasus antara lembaga yang berbeda. Komnas Perempuan, KPAI, dan KPPPA memiliki sistem pelaporan masing-masing yang belum sepenuhnya terhubung, sehingga menyulitkan proses pemantauan kasus secara real-time dan lintas wilayah. Padahal, integrasi sistem informasi menjadi krusial untuk mempercepat respons terhadap kasus darurat serta untuk menganalisis pola kekerasan yang terjadi di masyarakat secara akurat.

Dari sudut pandang teori, sinergi lembaga perlindungan ini dapat dianalisis menggunakan pendekatan Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa perlindungan HAM tidak dapat hanya bergantung pada peran negara sebagai pemegang kekuasaan formal. Perlindungan yang efektif memerlukan partisipasi aktif dari lembaga independen, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Dengan kata lain, HAM tidak hanya ditegakkan melalui kekuatan negara (state-based power), tetapi juga melalui penguatan kelembagaan di luar negara (non-state actors) yang mampu menjangkau kelompok rentan secara langsung dan peka terhadap kebutuhan mereka. Teori ini menempatkan lembaga seperti Komnas Perempuan dan KPAI sebagai pilar penting dalam sistem perlindungan HAM modern yang bersifat desentralistik dan berbasis komunitas. Lebih jauh lagi, sinergi ini perlu menjunjung prinsip intersectionality, yang mengakui bahwa pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak tidak berdiri sendiri, melainkan beririsan dengan isu sosial lainnya seperti kemiskinan, disabilitas, etnisitas, dan lokasi geografis. Oleh karena itu, strategi perlindungan perlu dirancang dengan mempertimbangkan konteks dan bersifat inklusif, melibatkan peran tokoh adat, pemuka agama, serta pemimpin komunitas dalam mengungkap praktik-praktik sosial yang mendukung kekerasan atau diskriminasi terhadap perempuan dan anak.

Dalam pelaksanaan kebijakan publik, kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan ini telah mulai terwujud melalui mekanisme Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak, baik di tingkat nasional maupun daerah. Gugus tugas ini mengumpulkan berbagai elemen pemerintah dan masyarakat sipil untuk menanggapi kasus-kasus darurat serta merancang rencana strategis perlindungan jangka panjang. Namun demikian, efektivitas gugus tugas masih sangat bergantung pada komitmen politik kepala daerah, alokasi anggaran, serta kapasitas kelembagaan di tingkat lokal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sinergi antara lembaga perlindungan, pemerintah, dan masyarakat sipil bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan merupakan dasar utama dalam penegakan hak asasi manusia yang adil dan berkelanjutan bagi anak-anak dan perempuan. Melalui kolaborasi yang terencana, terstruktur, dan partisipatif, sistem perlindungan di Indonesia dapat bertransformasi dari respons reaktif terhadap kekerasan menjadi sistem yang bersifat preventif dan transformatif, yang mendukung terciptanya keadilan sosial.

  • STRATEGI PENGUATAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SEBAGAI PENEGAK HAM

Lembaga yang melindungi anak dan perempuan di Indonesia, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), memiliki peran yang sangat penting sebagai aktor non-yudisial dalam sistem penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, efektivitas mereka dalam melindungi kelompok yang rentan sering kali terhalang oleh berbagai kendala yang bersifat struktural, teknis, maupun kultural. Oleh karena itu, penguatan lembaga-lembaga ini memerlukan strategi yang terencana, menyeluruh, dan berbasis pada prinsip good governance, partisipasi publik, serta perspektif keadilan gender dan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun