Mohon tunggu...
ramly amin simbolon
ramly amin simbolon Mohon Tunggu... -

Anggota Komisi Informasi Pusat (KIP) periode 2009 - 2013, tinggal di Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Presiden ½ Dewa

22 Juli 2014   15:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:36 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SELAMAT datang presiden kami yang baru. Kalimat ini sudah saatnya diucapkan kini. Kalau pun hasil perhitungan dan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih harus menghadapi gugatan, katakanlah salah satu tim calon presiden/calon wakil presiden mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetap saja tak akan mengubah skedul nasional bahwa per akhir Oktober tahun ini seluruh – sekali lagi: seluruh -- rakyat Indonesia akan memiliki presiden yang baru.

Layaknya seseorang ketika baru saja mendapatkan sesuatu yang baru, tentu selalu dibarengi dengan harapan bahwa yang baru itu akan membawa perubahan-perubahan lebih baik. Begitulah rakyat Indonesia – terlepas dari calon yang terpilihkemudian adalah calon yang sesuai atau tidak dengan pilihannya semula – pada akhirnya ia hanya dihadapkan pada satu kenyataan, itulah presidennya yang baru. Dan mau tidak mau menaruh harapankepadanya.

Salah satu yang menggembirakan dari munculnya dua calon presidenpada Pilpres kali ini adalah, kedua calon sama mengusung jargon nasionalisme. Kedua calon sama menggunakan semangatyang sama, Jokowi dengan ajaran Trisakti-nya Bung Karno, Prabowo dengan ekonomi kerakyatannya.

Terlepas dari apa pendapat para akademisi kemudian – yang mungkin saja mendalami ‘’ideologi’’ kedua capres melalui serangkaian debat -- tapi bagi sebagian besar kalanganawam, cukuplah bahwa Jokowi dan Prabowo sama berjanji mensejahterakan rakyat Indonesia apabila terpilih jadi presiden.

Pertanyaan yang tak terhindarkan kemudian adalah, mensejahterakan rakyat Indonesia dengan cara apa dan bagaimana melaksanakannya.

Pertanyaan ini menempati posisi penting. Sebab, sebagai catatan yang perlu dikemukakan adalah, titik lemah dari dua capres yang tampil di ajang debat – menurut pandangan penulis – adalah, keduanya tidak secara spesifik berani merumuskan ideologi maupun pola pembangunan yang dilakukan pemerintahan selama 10 tahun belakangan ini di bawah pimpinan Presiden SBY, apakah neolibis - kapitalistis, nasionalis sosialis, atau gado-gado alias campuran yang benar,atau pun yang tidak karuan.

Berani menilai dan merumuskan ideologi yang dianut pemerintahan SBY bisa menjadi tolok ukur sejauhmana kedua capres memahami dan mendalami nasionlisme yang mereka usung, apakah hanya sekadar jargon di atas panggung untuk menutupi pragmatisme yang mungkin mereka anut, atau benar-benar menghayatinya.

Perumusan inisangatlah penting dilakukan, karena hanya dengan menyadarikondisi kekinian Indonesia (sedang berada di mana) presiden baru akan dapat dengan mudah menentukan ke mana bangsa ini akan dibawa. Ibarat seorang musafir, harus tahu dirinya sedang berada di mana, baru kemudian tahu akan kemana kaki melangkah selanjutnya,ke timur atau ke barat.

Tetapi, dengan ber- positive thinking , kita anggap sajadan kita percaya, kedua capres pastilahtahu semua itu dan tahu lebih dari itu. Sebagai rakyat awam, cukuplah masalah-masalah aktual yang gampang dan mudah diingat -- karena sudah menjadi masalah hidup rakyat sehari-hari dan tak kunjungpernah teratasi dengan baik, contohnya ekspor TKI – yang kelak akan kita tagihkan kepada PresidenJokowi (atau pun Prabowo).

Masalah-masalah sederhana itu, dapat kita simak melalui syair Iwan Fals dalam ‘’Manusia Setengah Dewa’’ yang berseru kepada presiden yang baru: ... turunkan harga secepatnya, berikan kami pekerjaan, masalah moral dan akhlak biar kami cari sendiri, peraturan yang sehat yang kami mau, tegakkan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu.

Kalau semua itu dapat Anda laksanakan,akan kami angkat atau nobatkan engkau sebagai manusia setengah dewa.

Marilah kita menapaki jalannya sejarah ke depan, apakah Indonesia sudah saatnya punya presiden setengah dewa, apakah nasionalisme yang digaungkan hanya sekadar sebuah romantika di atas panggung, atau sekadar bualan demokrasi. Mari.(ras)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun