Mohon tunggu...
Rama Kurnia Santosa
Rama Kurnia Santosa Mohon Tunggu... Penulis

Penulis asal Bogor yang gemar berpuisi namun sering juga bercerita. Telah menerbitkan 8 buku ber-ISBN, salah satunya memenangkan penghargaan dari Kemendikbudristekdikti. Aktif menulis dan juga bercerita di kanal Arah Pulang yang bisa didengarkan di Spotify dan platform digital lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Ada Cinta Hari Ini

6 Oktober 2025   08:12 Diperbarui: 6 Oktober 2025   08:12 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kurasa semua manusia hari ini sama saja. Mereka berbicara tentang cinta, tentang keikhlasan, tentang kemurnian perasaan yang katanya abadi. Namun yang tersisa hanyalah kebohongan yang dikemas rapi, seperti produk di etalase toko yang bercahaya namun kosong di dalamnya. Cinta telah kehilangan makna. Ia bukan lagi tentang perasaan, tetapi tentang angka. Tentang seberapa banyak tanda hati di layar ponsel, tentang seberapa mahal hadiah yang diberikan, tentang seberapa tinggi status sosial yang bisa dibanggakan di hadapan orang lain.

Manusia telah menjual cinta kepada sistem yang busuk, sebuah sistem yang mengubah segalanya menjadi perhitungan. Mereka mencintai bukan karena hati, tapi karena kalkulasi. Cinta hari ini lahir dari kepentingan, hidup dari kebohongan, dan mati karena kejenuhan. Tidak ada lagi ruang bagi ketulusan. Bahkan keikhlasan pun telah dijadikan strategi untuk terlihat lebih baik dari orang lain. Kita hidup di zaman di mana kepura-puraan menjadi norma, dan kejujuran dianggap kebodohan.

Mereka merayakan cinta dengan pesta dan foto-foto, seolah kebahagiaan bisa dibuktikan dari senyum yang dipaksakan. Mereka berpelukan di depan kamera, tapi saling membenci di balik layar. Setiap ucapan manis hanyalah upaya untuk mempertahankan citra. Sementara hati mereka kering, lapar akan pengakuan yang tak pernah benar-benar datang. Mereka tak mengenal cinta, hanya kenikmatan sesaat yang dibungkus dalam kata "hubungan."

Keseragaman telah menjadi penyakit. Setiap orang berusaha menjadi seperti yang lain, meniru gaya hidup, mengikuti tren, berpakaian serupa, berbicara serupa, dan bahkan mencintai dengan cara yang sama. Tak ada yang benar-benar menjadi dirinya sendiri. Dunia menuntut kita untuk tunduk, untuk menyesuaikan diri dengan standar kebahagiaan yang ditentukan oleh pasar dan media sosial. Mereka yang mencoba berbeda akan dicemooh, dianggap aneh, atau bahkan dikucilkan.

Sementara itu, mereka yang dulu mencintai, kini berlari tergopoh-gopoh mengejar puncak karier. Mereka meninggalkan orang-orang yang pernah menunggu di balik pintu, menukar kasih dengan ambisi, menukar waktu dengan uang. Mereka menyebutnya pengorbanan, padahal itu hanya bentuk lain dari keserakahan. Dunia telah menjadikan manusia budak produktivitas, dan cinta dikorbankan di altar kesuksesan semu.

Aku melihatnya setiap hari: pasangan yang duduk bersama tanpa bicara, keluarga yang makan malam sambil sibuk menatap layar masing-masing, dan orang-orang yang mencari validasi dari mereka yang bahkan tak mengenalnya. Ini adalah zaman hampa, di mana cinta hanya menjadi slogan, bukan pengalaman.

Mereka semua sama --- mengaku bahagia, padahal di dalam dirinya hanyalah kekosongan yang berteriak. Mereka haus akan pengakuan, lapar akan perhatian, tapi takut untuk benar-benar mencintai. Karena mencintai berarti membuka diri, dan dunia kini tak memberi ruang bagi kerentanan. Maka mereka memilih kepalsuan, dan dunia berputar dalam lingkaran kebohongan yang semakin dalam.

Cinta hari ini bukan lagi perasaan suci. Ia telah menjadi komoditas --- dijual, dipromosikan, dan dipajang di etalase peradaban yang busuk. Dan di antara semua wajah yang tersenyum di foto, aku hanya melihat satu hal: manusia yang kehilangan jiwanya, tapi tetap berpura-pura bahagia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun