Kesalahpahaman Hakikat Jabatan PublikÂ
Ketika seseorang diangkat menjadi pejabat publik, ia sejatinya mengemban amanah rakyat. Tapi di banyak kasus, kita justru menyaksikan fenomena yang berkebalikan: pejabat yang merasa seperti penguasa, bukan pelayan masyarakat. Sebagai warga negara biasa, saya sering merenungkan, apa yang sebenarnya menjadi landasan pemikiran sebagian pihak yang mengemban jabatan publik. Di tengah berbagai dinamika informasi yang kita terima, saya kerap merasa bahwa ada pemahaman yang perlu diluruskan mengenai esensi sebuah posisi di pemerintahan. Seolah-olah, jabatan yang diamanahkan menempatkan individu pada posisi yang lebih tinggi, terpisah dari masyarakat yang seharusnya dilayani.
Padahal, esensi dari sebuah jabatan publik itu fundamental dan mulia: Anda adalah pelayan rakyat. Titik. Bukan penguasa yang absolut, bukan pula figur yang harus dipatuhi tanpa pertanyaan. Setiap fasilitas dan dukungan yang diterima seorang pejabat, pada dasarnya bersumber dari kontribusi dan jerih payah masyarakat. Itu artinya, keberadaan di posisi tersebut adalah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada kami, masyarakat.
Budaya Feodal dalam Demokrasi Modern
Salah satu warisan kolonialisme dan sistem birokrasi lama yang belum hilang di Indonesia adalah budaya feodal: pemimpin yang ingin dihormati mutlak dan tidak dikritik. Hal ini terlihat dari banyak pejabat yang tersinggung ketika dikritik oleh warganya sendiri. Kritik dianggap sebagai serangan pribadi, bukan sebagai bentuk partisipasi demokratis.
Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai kasus di mana pejabat publik melaporkan warga ke polisi hanya karena unggahan di media sosial yang bersifat kritis. Ini bukan hanya bentuk penyalahgunaan kekuasaan, tapi juga ancaman serius bagi kebebasan berekspresi.
Berhenti Merasa Istimewa
Lalu, bagaimana seharusnya seorang pejabat bersikap, jika memang mereka memahami peran fundamental ini? Pertama, berhenti merasa istimewa. Penting untuk menanggalkan persepsi keistimewaan yang terkadang melekat pada jabatan publik, yang dapat membuat seseorang merasa berada di atas kritik atau mekanisme hukum. Ingatlah, posisi yang diemban adalah bagian dari sistem masyarakat, dengan tanggung jawab yang lebih besar. Sikap yang mengabaikan, meremehkan, atau tidak responsif terhadap aspirasi publik adalah indikasi kegagalan dalam memahami tugas pokok.
Utamakan Kepentingan Publik
Kedua, utamakan kepentingan publik di atas segalanya. Ini adalah prinsip yang sering disebut, namun krusial. Setiap kebijakan yang dirumuskan, setiap alokasi anggaran, dan setiap keputusan yang diambil, seharusnya berorientasi pada kemaslahatan kolektif masyarakat. Bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok tertentu, atau sekadar memuaskan ambisi sesaat. Praktik-praktik yang merugikan keuangan negara, misalnya, adalah manifestasi dari pengabaian prinsip ini, yang secara langsung mengurangi sumber daya untuk kesejahteraan publik.
Jadilah Pendengar dan Komunikator yang Efektif
Ketiga, jadilah pendengar yang baik dan komunikator yang efektif. Masyarakat memiliki berbagai suara, keluhan, dan harapan. Pejabat yang ideal adalah mereka yang bersedia mendekat, mendengarkan dengan saksama, dan terbuka terhadap masukan konstruktif. Lebih dari itu, mereka harus mampu menyampaikan informasi dan kebijakan dengan transparan dan mudah dipahami. Jangan sampai masyarakat merasa aspirasinya tidak didengar atau informasi yang diberikan kurang jelas.
Tegakkan Integritas dan Profesionalisme
Keempat, tegakkan integritas dan profesionalisme. Ini mencakup bukan hanya soal kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga tentang bekerja dengan jujur, disiplin, dan bertanggung jawab. Janji-janji yang disampaikan seharusnya ditepati, dan kinerja harus dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang optimal dari para abdi negara.
Contohkan Kesederhanaan dan Empati
Kelima, contohkan kesederhanaan dan empati. Di tengah dinamika sosial yang kompleks, seorang pejabat yang menunjukkan gaya hidup berlebihan tanpa kepekaan dapat melukai perasaan masyarakat. Penting untuk menunjukkan empati, memahami realitas yang dihadapi masyarakat, dan menjalani kehidupan yang selaras dengan peran sebagai pelayan publik.
Harapan untuk Perubahan
Membangun kembali mentalitas "pelayan rakyat" mungkin bukan proses yang instan, terutama jika mentalitas "penguasa" telah mengakar kuat. Namun, ini adalah sebuah keharusan jika kita menginginkan kemajuan dan keadilan yang berkelanjutan. Masyarakat mendambakan tindakan nyata, bukan hanya janji-janji. Yang kami harapkan adalah pejabat yang berdedikasi, melayani, dan benar-benar menyadari bahwa mereka adalah bagian dari kami, rakyat Indonesia.Â
Rakyat tidak anti terhadap pemerintah, rakyat hanya muak dengan arogansi kekuasaan. Sudah saatnya kita mengembalikan makna jabatan publik sebagai bentuk pengabdian, bukan penguasaan. Pejabat harus mengerti bahwa mereka dipilih bukan untuk dihormati, tapi untuk melayani. Demokrasi tidak tumbuh dari pemimpin yang minta dihormati, tapi dari pemimpin yang tahu cara mendengar dan bekerja tanpa pamrih. Jika pejabat lupa akan hal ini, maka rakyatlah yang harus terus mengingatkan, karena demokrasi sejati hidup dari partisipasi, bukan dari ketakutan.
Semoga refleksi ini dapat menjadi inspirasi bagi setiap individu yang kini mengemban amanah publik. Karena pada akhirnya, perjalanan sejarah akan mencatat, apakah mereka adalah pemimpin yang menguasai, atau pelayan sejati yang dikenang karena baktinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI