Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pendidikan Bidang Hukum. Pengikut Gerakan Akal Sehat. Ex Relawan BaraJP / KAWAL PEMILU Pembelajar Tanpa Henti

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pasca Polisi Lindas Ojol Menggunakan Rantis dari Pajak Rakyat: Wisma MPR dibakar massa

29 Agustus 2025   20:54 Diperbarui: 2 September 2025   21:27 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#Wisma MPR dibakar #Polisi Lindas Ojol #Affan Kurniawan #Polisi Pembunuh?

Oleh: R. Hady Syahputra Tambunan
Latar belakang pendidikan di bidang hukum, bekerja sebagai karyawan swasta, aktif menulis di media online dengan fokus pada kritik isu politik, sosial, budaya, dan hukum. Terlibat dalam kegiatan kerelawanan politik serta memiliki minat besar pada kajian filsafat.

Foto: Universitas Muhammadiyah Surabaya
Foto: Universitas Muhammadiyah Surabaya
Pasca Polisi Membunuh Ojol: Kemarahan, Psikologi Massa

Peristiwa pada Kamis, 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di kawasan DPR/MPR, Jakarta Pusat, bukan sekadar kecelakaan lalu lintas. Ia menjadi simbol patahnya kontrak sosial antara negara dan rakyat.

Respon masyarakat berupa demonstrasi besar di Jakarta dan berbagai kota lain mencerminkan bukan hanya duka, tetapi juga frustrasi politik yang terakumulasi. Aparat, yang dalam teori Hobbes berfungsi menjaga keamanan kolektif, justru dipersepsikan melanggar mandat dasarnya: melindungi kehidupan warganya.

II. Psikologi Massa: Dari Emosi ke Aksi Kolektif

Dalam perspektif psikologi sosial, fenomena ini menunjukkan manifestasi dari collective outrage. Ada tiga aspek yang dapat dicatat:

  • Efek penguatan massa
    Merujuk pada teori crowd psychology Gustave Le Bon, individu yang semula ragu atau pasif menjadi larut dalam arus kolektif. Identitas pribadi melebur dalam identitas massa, menghasilkan solidaritas spontan sekaligus perilaku ekstrem.
  • Trauma kolektif dan emotional contagion
    Tragedi Affan mengaktifkan memori sosial tentang kekerasan aparat di masa lalu (misalnya kasus 1998, atau penembakan laskar FPI 2020). Trauma kolektif ini memperbesar resonansi emosi, menciptakan "penularan kemarahan" yang cepat dan nyaris otomatis.
  • Frustrasi dan agresi
    Dalam teori Dollard dkk. (frustration-aggression hypothesis), agresi massa sering lahir ketika jalur aspirasi politik ditutup. Ketika ruang dialog dirasakan buntu, ekspresi kemarahan beralih menjadi tindakan destruktif-pembakaran ban, penyerangan simbol otoritas, hingga penolakan frontal terhadap aparat.

III. Filsafat Kemarahan Publik: Negara yang Gagal Menjadi Moral Community

Secara filsafat, insiden ini bisa dibaca melalui beberapa kerangka:

  • Thomas Hobbes menekankan bahwa warga menyerahkan haknya pada Leviathan agar terlindungi. Namun, jika Leviathan justru memangsa warganya, kontrak sosial kehilangan legitimasi.
  • John Locke menambahkan, ketika negara gagal melindungi hak hidup (right to life), rakyat berhak melakukan resistensi. Demonstrasi pasca tragedi adalah bentuk aktual resistensi itu.
  • Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem berbicara tentang banalitas kejahatan: aparat yang menjalankan prosedur tanpa refleksi moral. Rantis yang melindas manusia seperti benda menunjukkan bagaimana birokrasi represif bisa menihilkan martabat individu.
  • Walter Benjamin membedakan antara law-making violence dan law-preserving violence. Aparat seharusnya menjaga hukum, bukan menciptakan kekerasan baru. Ketika hukum gagal, Benjamin menyatakan bahwa "keadilan revolusioner" bisa lahir dari tindakan rakyat.

IV.Nalar Publik yang Terguncang

Reaksi publik tidak berhenti pada simpati, tetapi berkembang menjadi krisis kepercayaan. Beberapa indikator:

  • Alienasi institusional: Polisi yang semestinya pelindung kini dipersepsikan sebagai ancaman.
  • Tagar digital (#PolisiPembunuhRakyat) berfungsi sebagai agregator emosi kolektif sekaligus delegitimasi simbolik terhadap institusi Polri.
  • Skeptisisme prosedural: masyarakat tidak percaya pada mekanisme internal seperti Propam, karena sering berakhir dengan hukuman ringan bagi "oknum".

Dalam kerangka Durkheim, masyarakat mengalami anomie: runtuhnya norma yang mestinya menjaga keteraturan. Publik menuntut bukan sekadar "hukum positif", tetapi keadilan substantif yang memulihkan martabat manusia.

V. Data Sosial Politik yang Relevan

Gelombang protes: aksi tercatat di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Solo. Tuntutan utama: pengadilan terbuka dan identitas pelaku diumumkan.

  • Respon institusional: Mabes Polri menyatakan tujuh anggota Brimob diperiksa. Presiden meminta transparansi, namun publik skeptis melihat pola impunitas di masa lalu.
  • Media sosial: tagar pro-ojol sempat trending nomor 1 di X, dengan jutaan interaksi. Dukungan moral juga datang dari komunitas internasional yang menyoroti HAM.
  • Kepercayaan publik: survei LSI (2024) mencatat kepercayaan terhadap Polri sudah turun ke 52%. Insiden ini berpotensi menurunkannya lebih jauh.

VI. Kritik Filsafat dan Etika 

Ada tiga dimensi kritik yang mengemuka:

  • Hukum: Reduksi ke Propam adalah bentuk internal justice yang tidak memadai. Kejahatan yang menghilangkan nyawa harus masuk ke pengadilan umum.
  • Etika Aparatur: Hilangnya empati aparat menunjukkan defisit moral pendidikan kepolisian. Pelatihan harus menekankan nilai humanisme, bukan hanya disiplin militeristik.
  • Sistemik: SOP penggunaan rantis, transparansi identitas pelaku, dan akuntabilitas komando harus direformasi. Tanpa itu, impunitas akan terus berulang.

Tragedi Affan Kurniawan membuka babak baru relasi rakyat dan negara. Tiga pesan utama bisa disimpulkan:

  • Affan sebagai simbol luka rakyat: bukan sekadar korban individu, melainkan representasi rakyat kecil yang terpinggirkan.
  • Kemarahan rakyat: bukan irasionalitas, tetapi bentuk klaim atas hak paling dasar-hak hidup yang dilindungi.
  • Urgensi transformasi: demonstrasi tidak boleh dipandang hanya sebagai ancaman stabilitas, melainkan sebagai panggilan untuk memperbaiki kontrak sosial.

VII. Renungan Filosofis

Kematian Affan bukan kecelakaan biasa, melainkan luka demokrasi. Kant pernah menyatakan: manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Ketika rantis Brimob melindas tanpa jeda, rakyat diperlakukan lebih rendah dari sekadar kerikil di jalan.

Jika negara ingin meredam kemarahan rakyat, jawabannya bukan gas air mata, melainkan keadilan yang nyata: proses hukum transparan, reformasi institusional, dan pemulihan etika aparat. Hanya dengan itu, nalar publik yang terguncang dapat dipulihkan, dan negara kembali dilihat sebagai pelindung, bukan pembunuh.

Baca data selengkapnya korban tewas akibat demo dan kekerasan aparat: https://belitung.tribunnews.com/news/206607/sosok-iko-mahasiswa-unnes-semarang-tewas-diantar-brimob-ke-rumah-sakit-penuh-luka-lebam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun