Reaksi publik tidak berhenti pada simpati, tetapi berkembang menjadi krisis kepercayaan. Beberapa indikator:
- Alienasi institusional: Polisi yang semestinya pelindung kini dipersepsikan sebagai ancaman.
- Tagar digital (#PolisiPembunuhRakyat) berfungsi sebagai agregator emosi kolektif sekaligus delegitimasi simbolik terhadap institusi Polri.
- Skeptisisme prosedural: masyarakat tidak percaya pada mekanisme internal seperti Propam, karena sering berakhir dengan hukuman ringan bagi "oknum".
Dalam kerangka Durkheim, masyarakat mengalami anomie: runtuhnya norma yang mestinya menjaga keteraturan. Publik menuntut bukan sekadar "hukum positif", tetapi keadilan substantif yang memulihkan martabat manusia.
V. Data Sosial Politik yang Relevan
Gelombang protes: aksi tercatat di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Solo. Tuntutan utama: pengadilan terbuka dan identitas pelaku diumumkan.
- Respon institusional: Mabes Polri menyatakan tujuh anggota Brimob diperiksa. Presiden meminta transparansi, namun publik skeptis melihat pola impunitas di masa lalu.
- Media sosial: tagar pro-ojol sempat trending nomor 1 di X, dengan jutaan interaksi. Dukungan moral juga datang dari komunitas internasional yang menyoroti HAM.
- Kepercayaan publik: survei LSI (2024) mencatat kepercayaan terhadap Polri sudah turun ke 52%. Insiden ini berpotensi menurunkannya lebih jauh.
VI. Kritik Filsafat dan EtikaÂ
Ada tiga dimensi kritik yang mengemuka:
- Hukum: Reduksi ke Propam adalah bentuk internal justice yang tidak memadai. Kejahatan yang menghilangkan nyawa harus masuk ke pengadilan umum.
- Etika Aparatur: Hilangnya empati aparat menunjukkan defisit moral pendidikan kepolisian. Pelatihan harus menekankan nilai humanisme, bukan hanya disiplin militeristik.
- Sistemik: SOP penggunaan rantis, transparansi identitas pelaku, dan akuntabilitas komando harus direformasi. Tanpa itu, impunitas akan terus berulang.
Tragedi Affan Kurniawan membuka babak baru relasi rakyat dan negara. Tiga pesan utama bisa disimpulkan:
- Affan sebagai simbol luka rakyat: bukan sekadar korban individu, melainkan representasi rakyat kecil yang terpinggirkan.
- Kemarahan rakyat: bukan irasionalitas, tetapi bentuk klaim atas hak paling dasar-hak hidup yang dilindungi.
- Urgensi transformasi: demonstrasi tidak boleh dipandang hanya sebagai ancaman stabilitas, melainkan sebagai panggilan untuk memperbaiki kontrak sosial.
VII. Renungan Filosofis
Kematian Affan bukan kecelakaan biasa, melainkan luka demokrasi. Kant pernah menyatakan: manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Ketika rantis Brimob melindas tanpa jeda, rakyat diperlakukan lebih rendah dari sekadar kerikil di jalan.
Jika negara ingin meredam kemarahan rakyat, jawabannya bukan gas air mata, melainkan keadilan yang nyata: proses hukum transparan, reformasi institusional, dan pemulihan etika aparat. Hanya dengan itu, nalar publik yang terguncang dapat dipulihkan, dan negara kembali dilihat sebagai pelindung, bukan pembunuh.
Baca data selengkapnya korban tewas akibat demo dan kekerasan aparat: https://belitung.tribunnews.com/news/206607/sosok-iko-mahasiswa-unnes-semarang-tewas-diantar-brimob-ke-rumah-sakit-penuh-luka-lebam