Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

🎓Education: Law 🏤Classified as Middle–Upper Class in Indonesia, with assets ranging from US$169,420–1 million (approx. Rp 2.64–16 billion), based on CNBC criteria. 🏧Among the top 0.001% of Indonesians with an annual income of Rp 300–500 million (SPT 1770 S 2024) 👔Career: Employee at Giant Holding Company (since Feb 2004–Present), side job as Independent Property-Asset Management Consultant 📲Volunteer Work: Previously engaged with BaraJP, Kawal Pemilu, as well as the Prabowo–Sandi and Anies–Muhaimin campaign teams. ⚖️Note: I only connect with writers who focus on ideas and ideals, not those who are obsessed with K-Rewards.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

NaNuNa TikTok: Seragam-Seragaman vs Esensi Pengabdian

8 Juli 2025   11:02 Diperbarui: 9 Juli 2025   09:20 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

## R. Hady Syahputra Tambunan. karyawan swasta, pendidikan hukum, minat menulis tema sosial dan budaya.

1. Fenomena NaNuNa: TikTok Sebagai Panggung Parade

Beberapa bulan terakhir, linimasa TikTok diramaikan parade seragam: siswa taruna sekolah kedinasan, hingga calon-calon ASN dengan langkah tegap dan gerakan "NaNuNa" yang katanya keren, gagah, dan nasionalis. Musik dramatis, gerakan hormat pelan, tangan di dada, jalan seirama layaknya pasukan parade. Tidak sedikit yang menyebutnya: estetik. Tapi sebagian lagi: ironik.

Mengapa jadi ironik?

Tren Seragam-Seragaman ala calon ASN-aparat negara-hukum-pemerintahan ini meluas. Beberapa ikut-ikutan tersenggol bahkan taruna yang sudah lulus pun merasa perlu menunjukkan ia berseragam pula. Keluarga yang memiliki saudara yang berseragam pun ikut pula tampil. Keluarga kami pun berseragam. Istilahnya: kami juga pantas dihormati layaknya bangsawan feodal warisan kolonial. Anda , saya atau kita masyarakat biasa mari tepuk tangan sambil berdiri. Mendewakan mereka.

2. Publik Terbelah: Antara Bangga dan Risih

Fenomena ini membelah masyarakat. Di satu sisi, ada yang husnuzhan-menganggap itu sebagai bentuk kebanggaan, kedisiplinan, bahkan kecintaan pada profesi. Di sisi lain, tak sedikit yang mengernyit, menyebut ini sebagai pamer berlebihan yang menjadikan seragam sebagai status simbol, bukan amanah. "Yang penting seragamnya, bukan tanggung jawab di baliknya," kata seorang komentator di medsos. Mirisnya, kita seperti hidup dalam masyarakat yang lebih menghormati seragam yang dikenakan daripada isi kepalanya.

Padahal, negara dengan sistem meritokrasi yang masih banyak perlu dibenahi seperti Indonesia ini, dimana fenomena titipan, nepo-baby, uang bawah tangan, perekrutan dalam tes masuk yang sering dikritik banyak penyimpangan, sebut saja misal: banyak anak-anak yang bermimpi menjadi praja di IP.. perlu menyiapkan uang 500jutaan atau lebih sebagai pelicin agar lulus. Itu kita bicara soal fenomena seribu cara agar lulus dengan cara belakang, belum ketika berhadapan dengan birokrasi indonesia yang menurut survey LSI: 

Sumber: detik: kutipan LSI
Sumber: detik: kutipan LSI

3. Mengapa Fenomena Ini Terjadi?

Pertanyaannya: mengapa anak-anak muda berlomba memamerkan seragam dan gestur militeristik seolah itu definisi utama dari sukses? Mungkin ini bukan sekadar tren medsos. Ini adalah cerminan nilai baru yang kita bangun diam-diam. Ketika seragam dianggap sebagai pencapaian, dan tidak ada cukup narasi tandingan yang menekankan bahwa integritas lebih mulia daripada kostum, maka viral-lah "NaNuNa".

Bisa jadi juga, gejala opotunistik sudah mengakar pada generasi masa depan bangsa kita. Memilih jalan aman sebagai jalan atas ketakutan masa depan. Takut akan miskin kalau bukan jadi abdi negara, takut berusaha, takut tidak hidup layak, akhirnya pilih saja cara dan tempat yang sudah terjamin bahkan dengan cara apapun. Nah itu masalahnya: andai memang itu hasil dari prestasi tidak masalah. Boleh saja. 

4. Seragam sebagai identitas kekuasaan dan kejayaan.

Masuk akal pula bilamana pandangan generasi bangsa yang terpola dari warisan budaya feodal dan militeristik sehingga berseragam dinas disalah artikan sebagai satu-satunya jalan mencapai kebanggaan: harga diri keluarga agar dihormati layaknya bangsawan jaman lampau. Tidak itu saja, ada lagi motif yang menyertai: kemudahan dalam berurusan, akses khusus ke lini sumber daya kekuasaan dan ekonomi. Akhirnya kekuasaan dan kekayaan mutlak dijadikan sebagai tolok ukur "kemuliaan" dimata masyarakat

5. Seragam sebagai Kompensasi Sosial dan Psikologis

Fenomena ini juga bisa dilihat sebagai kompensasi sosial dari masyarakat yang frustrasi. Ketika lapangan kerja sempit, bisnis melemah, dan ekonomi kelas menengah tergerus, seragam menjadi lambang stabilitas: penghasilan tetap, status sosial instan, bahkan gengsi keluarga. Daripada berjuang menjadi entrepreneur yang harus jatuh bangun, lebih mudah jadi penyembah lambang. Kita sedang melihat generasi muda yang lebih ingin duduk di balik meja negara, ketimbang menciptakan lapangan kerja sendiri.

Fenomena ini juga lekat dengan feodalisme lama: seragam adalah simbol kekuasaan, dan masyarakat-baik yang memakainya maupun yang melihatnya-masih tunduk pada simbol itu. Negara membiarkan budaya ini tumbuh, mungkin karena nyaman ketika rakyatnya sibuk berkompetisi soal kostum, bukan kompetensi.

6. Apa Kata Sosiologi dan Ahli Psikologi Massa?

Menurut Erich Fromm, sosiolog terkenal: manusia modern lebih tertarik menjadi "seperti orang penting" daripada menjadi penting karena makna dan kontribusinya.

Fenomena ini sangat terasa dalam parade seragam yang viral. Di era citra dan konten, kita lebih sibuk terlihat penting, ketimbang benar-benar penting. Erich Fromm sudah lama mengingatkan lalu hari ini, kita melihatnya dalam parade seragam, hormat tegap, dan gaya viral-yang entah mewakili nilai, atau hanya ambisi pribadi dalam balutan simbol.

Dalam teori psikologi sosial, perilaku pamer simbol identitas terjadi saat individu belum memiliki pencapaian personal yang cukup kuat. Ia menumpang pada simbol kolektif: seragam, institusi, atau jabatan. Profesor Shiv Visvanathan dari India menyebut ini sebagai "institutional narcissism"-narsisme yang dipupuk oleh status, bukan oleh karya. Maka tak heran, saat para taruna atau siswa baru dan mantan siswa melakukan "NaNuNa", itu bukan untuk menunjukkan kesiapan melayani, tapi lebih pada: "Lihat ! Aku elite sekarang!"

7. Lembaga Kedinasan: Pabrik Mental Pelayan atau Raja?

Patut ditanya ulang: apakah lembaga-lembaga kedinasan kita masih mencetak pelayan publik atau justru raja kecil yang merasa dilayani? Jika sejak awal mental yang ditanam adalah elitisme dan kebanggaan atas seragam, bukan pelayanan dan empati terhadap rakyat, maka jangan kaget kalau kita menghasilkan aparatur yang kaku, jauh dari rakyat, dan alergi kritik. Seragam bukan lagi tanggung jawab, tapi perhiasan kekuasaan.

8. Seragam Gagah=Moral terjamin?

Tak sedikit kita temui mereka yang tampak gagah di balik seragam, tapi ringkih ketika dihadapkan pada etika. Korupsi jalan terus, kekerasan institusional masih terjadi, dan pelayanan publik tetap berbelit. Maka penting diingat: seragam bukanlah jaminan moral. Seperti kemasan nasi kotak: mewah di luar, belum tentu lauknya seimbang. Kadang  kalah enak dibanding nasi bungkus biasa.

9. Frustrasi Sosial Gen Z?

Bisa jadi ini adalah gejala frustrasi kolektif Gen Z. Mereka hidup di tengah ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, gempuran digital, dan krisis identitas nasional. Ketika tak tahu harus bangga pada apa, seragam hadir sebagai solusi instan. Identitas dibeli lewat almamater dan badge, bukan lewat karya dan kontribusi. 

Ada beberapa retorika klise soal mengapa SDM terbaik bangsa sekarang berebut agar tubuhnya ditempeli seragam-seragaman. Apakah agar terlihat terhormat? Jawaban mayoritas adalah: ingin mengabdi. Padahal, pengabdian dapat ditempuh melalui beribu cara dan sesuai proporsi- pencapaian nasing-masing. Di seberang sana, media sosial memberi banyak contoh bagaimana berkontribusi. Siswa selevel lulusan SMK di china/korea sudah bisa membanggakan. Mereka di tahap berfikir membuat start up, chip, dll.. lulusan terdidiknya lebih hebat lagi. Berpengaruh secara global.

Bagaimana kalau kembalikan saja pada alasan klasik seperti: lulus ASN akan cepat/mudah kaya. Ini lebih tidak realistis lagi. Mengapa? Apakah mungkin 5juta lebih ASN yang hampir diseragamkan penghasilannya, dibiayai kehidupannya sampai akhir hayat kemudian secara teori bisa menjadi kaya raya. Kecil kemungkinan bisa tercapai kecuali diberkahi peninggalan harta warisan. kaya-raya jalur cepat itu ya menjadi entrepreneur !! Bukan dengan budaya koruptif.

10. Wajar atau Bahaya?

Sebagian mungkin bilang ini wajar, hanya gaya ekspresi anak muda. Tapi ketika ekspresi itu mengarah pada pengultusan simbol tanpa isi, maka sistem pendidikan kita perlu alarm. Negara harus sadar bahwa membiarkan glorifikasi seragam tanpa kontrol makna adalah langkah menuju masyarakat kosmetik: indah di luar, kosong di dalam. Bayangkan bila sebagian mereka ketika menjadi pengemban amanah? bisa-bisa menjadi raja-raja baru yang gila hormat, haus pujian, apa-apa dilayani.  Sebagian yang tersisih menjadi generasi rendah diri, etos kerja lemah dan gampang frustasi. 

*Kesumpulan Penulis: Pendidikan Itu Bukan Panggung Defile

Pendidikan sejati adalah pengasahan karakter, bukan peragaan defile, seragam-seragaman dan atribut-atrbutnya. Negara, sekolah, dan institusi harus lebih menekankan nilai integritas, empati, dan pelayanan ketimbang parade tepuk tangan. Jika tidak, kita akan tumbuh jadi bangsa yang sibuk mengagumi penampilan, namun melupakan esensi: kehormatan itu ada pada pengabdian sejati. Kontribusi bagi negeri dapat melalui bidang apapun yang digeluti.

Jika "NaNuNa" jadi simbol kebanggaan, maka masa depan negeri ini mungkin akan ditentukan oleh langkah tegap, bukan langkah cerdas. Disitulah bencana diam-diam menunggu: 

Generasi yang sibuk glorifikasi namun mandul inovasi., minim prestasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun