Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mantan Guru • S1 Bahasa dan Sastra Indonesia • Bergiat di Kembara Rimba dan Salam Semesta • Warga Gg. Mangga Garis Lurus

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Terpendam

12 Mei 2018   03:29 Diperbarui: 12 Mei 2018   03:57 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: i.pinimg.com)

Begitulah akhirnya. Kita meneguk malam dalam kopi yang dingin. Dengan kenangan yang mengendap dan kental. Dan kita teringat pada gumpalan yang sudah-sudah. Yang pernah kita larung di bawah gempuran hujan, seperti catatan usang di perahu kertas, kau tahu, mereka tak pernah sampai ke laut, hanya menjadi padat dan beku dalam diri kita, sebab kita menyembunyikan hati kita seperti harta karun. Mereka membatu dan memucat. Begitu keras. Bercangkang sepi. Dingin.

Dan ketika malam yang mendesis lenyap, kita belum juga mampu melupakannya, mereka lebih berat dari batu, dan lebih tajam dari sepi: menyengat bagai dingin. Kita selalu mengusirnya dengan musik. Tapi mereka lebih berisik dari musik. Jadi percuma. Meski lenyap sementara, lalu menyisakan lolongan ganjil dalam diri kita; ketakutan-ketakutan yang mesti kita hadapi sendiri. Begitu katanya.

Di luar itu, mata kita melihat banyak hal berarti dengan tatapan kosong; dankita merasakan angin di antara kepakan buku-buku yang tak pernah selesai kita baca. Angin yang tak pernah lelah mengangkat suara-suara burung ke dalam telinga kita; begitulah akhirnya, mereka tahu tubuh kita menyimpan hutan, dan mereka menyanyi sesuka hati di hutan yang mati itu.

Sambil memukul apa saja, yang ada di dalam kepala kita. Lalu meniup badai, menciptakan gemuruh, juga gempa. Lalu kita menjadi bayang-bayang, yang berusaha melarikan diri dari dalam cermin.

Dan malam itu, kita membatu dan memucat, teronggok di hutan mati, di antara angin dan suara burung, di antara musik dan ketakutan-ketakutan itu; begitulah akhirnya, kita memiliki cangkang sepi kita sendiri.

Dengan dingin yang merahasiakan ingatan kita. Seperti urat leher yang menyembunyikan rasa nyeri dari mata pisau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun