Dengan ini kusapa dirimu; selembar kaca yang pecah dari wajah yang kau sobek tanpa kata-kata, tanpa tanda tanya, apakah jalanku bengkok dan berputar, apakah sepatuku ditumbuhi sayap atau kakiku seperti kelabang di kamar mandi; mataku mungkin terpejam, tapi mimpiku bertaburan di atas rambutmu. Dan melalui jalan rahasia, yang hanya dilintasi bintang jatuh, kau menarikku dari ujung kuku. Seperti empat hari kecupan dalam seminggu, kau melumat sisa-sisa kulit mati yang belum rontok dari leherku.Â
Mungkinkah kau tahu kalau aku rajin mengumpulkan ubanmu; aku menanamnya di atas piring berisi nasi, dan tumbuh sebagai anak-anak hati. Begitu lucu. Di antara itu, kesedihanku terekam dalam potret buram masa lalu, yang sering menyapa bagaimana bentuk topengku, apa perlu diganti yang baru, dan kau tahu aku tak pernah berani memecahkan kaca di kamarku. Dengan baik kau taburkan pesta dan musik dari mulutmu untuk menjaga gelak tawaku. Memisahkan antara debu dan abu. Kabut dan dingin. Juga pelukan dan api bagi kesepianku. Apakah kau juga ibuku? Rumah yang menampung kamarku tanpa pintu.Â
Kamar yang terbuat dari bulan. Tempat buku-buku mengepakkan sayapnya dan kata-kata mendengung seperti lebah. Tidak ada lampu. Kau membentuk hatiku dari tamparan sapu lidi dan sumur tua dan pasir putih. Kamarku di malam hari, tubuhku yang berbaring di atasmu seperti bayi, dekat lemari, di antara tumpukan kulit pohon, anakmu termangu, seperti kadal kecil di kelopak melati; menatapmu, mendengus cintamu. Sentuhlah matanya yang bulat, lihat, bayanganmu di kaca yang pecah, sebentar lagi, terbelah menjadi kita dan roboh di kamar kecilku.
Bekasi, 2018