Lampu kota bergetar di matanya, seperti sinar lilin yang berpendar di balik kaca.
Ia duduk di bawahnya sebagai batu.
Lampu itu membuatnya terikat, di antara pecahan cahaya di atas letupan kopi. Kantuk mendidih dalam pikirannya. Ia memandangi kota yang mengabur di meja kerja, dan membiarkan angin menggetarkan kenangan yang membatu dan menindihnya. Sementara malam menangis di cangkir kopi. Ia meraba matanya, mencari kata-kata yang ingin dikubur ke dalam sinar lampu dan bau kopi.
Cerita bergerak
membentuk dirinya;
membangun kota,
menggali kuburan,
menumbuhkan pohon,
melahirkan buah
dan melempar racun
ke udara.