Tradisi nyadran merupakan bentuk upacara selamatan yang dilakukan masyarakat pegunungan Desa Genilangit di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Tradisi ini dilakukan setiap tahun pada bulan Suro dengan melarung sesaji ke pohon besar (Punden makam Ki Malang Yudho) sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan. Sesaji yang dilarung terdiri dari hasil bumi, kepala kambing, dan berbagai makanan tradisional. Bagi masyarakat setempat, nyadran bukan hanya bentuk pelestarian budaya, tetapi juga wujud kesadaran ekologis yang berkembang secara turun-temurun.
Pelaksanaan nyadran dimulai dengan persiapan sejak jauh hari, termasuk pengumpulan dana dari masyarakat, pembuatan sesaji, dan perencanaan acara. Sehari sebelum pelarungan, masyarakat bergotong royong membersihkan sampah di sepanjang tempat nyadran, menunjukkan komitmen mereka terhadap lingkungan. Momen ini menjadi ajang kebersamaan dan memperkuat ikatan sosial antar masyarakat. Setelah semua sesaji disiapkan, upacara dimulai dengan doa-doa yang dibacakan oleh tokoh adat, kemudian sesaji dikirab dan diletakkan dibawah pohon, disaksikan oleh masyarakat yang ikut mengiringi.
Tradisi nyadran memuat beragam nilai penting dalam kehidupan masyarakat. Dari sisi sosial, nyadran mempererat solidaritas dan rasa kekeluargaan antar warga. Dari aspek keagamaan, tradisi ini mencerminkan keyakinan spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan. Nyadran juga memiliki nilai edukatif karena mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan melalui pengalaman langsung. Selain itu, acara ini memberikan dampak ekonomi karena menjadi daya tarik bagi pengunjung dan menciptakan peluang usaha. Secara budaya, nyadran merupakan sarana pelestarian warisan leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam perspektif etika lingkungan, nyadran mencerminkan konsep deep ecology yang menekankan pentingnya melihat alam sebagai bagian integral dari kehidupan, bukan hanya objek eksploitasi manusia. Gerakan bersih sebelum pelaksanaan nyadran merupakan bentuk nyata dari kesadaran ekologis masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa alam adalah sumber penghidupan mereka, sehingga kebersihannya harus dijaga demi kelestarian ekosistem dan keberlanjutan hidup. Meski demikian, tantangan masih ada, seperti kurangnya fasilitas pengelolaan sampah dan belum optimalnya peran pemerintah dalam mendukung pengolahan limbah.
Konsep etika ekologi dalam nyadran tidak sekadar berbicara soal ritual, melainkan juga menyangkut cara pandang terhadap hubungan manusia dan alam. Kearifan lokal di Desa Genilangit menjadi contoh bahwa tradisi budaya dapat membentuk perilaku ramah lingkungan. Kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga alam sebagai sumber daya bersama menjadi bagian dari nilai yang ditanamkan dalam tradisi ini. Meskipun kegiatan bersih tempat ritual belum dilakukan secara berkala di luar nyadran, momentum ini tetap menjadi momen penting dalam upaya penyadaran lingkungan masyarakat pegunungan.
Kesimpulannya, tradisi nyadran di Desa Genilangit memadukan nilai budaya, spiritualitas, dan kepedulian ekologis yang saling menguatkan. Upacara ini tidak hanya merepresentasikan identitas budaya masyarakat pegunungan, tetapi juga menjadi wahana untuk menumbuhkan etika lingkungan dan menjaga kelestarian alam. Tradisi ini layak dijadikan model dalam memahami hubungan harmonis antara manusia dan alam berbasis kearifan lokal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI