Mohon tunggu...
Ralindra Kartanama
Ralindra Kartanama Mohon Tunggu... Lainnya - Aquarius '96

Berisi kumpulan cerita pendek.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Otak

4 Januari 2023   18:31 Diperbarui: 4 Januari 2023   18:33 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: www.wuryanano.net

Beliau yang membantu persalinan ibuku. Dan beliau pula yang menanamkan benda-benda kasar itu ke batok kepalaku. Menurut pengakuan orang tuaku. Aku memang terlahir tak seperti bayi pada umumnya. Menangis owek-owek pun tidak. Malah yang membuat geger adalah batok kepalaku terbuka cukup lebar. Selebar ukuran otak. Bisa dibuka-tutup pula.

Sebagai seorang ibu, beliau tak bisa menerima atas kelahiran sang anak yang tidak normal. Pasti ada kesalahan fatal yang dilakukan saat proses pengeluaran sang bayi. Mengingat batok kepala bayi pada dasarnya empuk. Ibu punya firasat buruk akan hal itu. Sementara bapak masih tak percaya dan mengira aku sudah mati saat berada di dalam kandungan. Karena beliau tak mendengar suara tangisan owek-owek dariku.

Singkat cerita, ibu terus menyudutkan Prof Dylan atas kelalaiannya sebagai seorang dokter. Ada dugaan bahwa Prof Dylan melakukan tindakan malpraktik. Ibu pun berencana ingin membawa persoalan ini ke ranah hukum. Namun, bapak mencegah.

"Tenangkan dirimu. Coba kau berpikir lebih objektif. Barangkali tempurung kepala itu terbuka ketika kau jatuh dan pingsan di kamar mandi.", kata Bapak, "Biar bagaimana pun, seharusnya kita bersyukur. Berkat dia, nyawamu dan anak kita masih bisa tertolong."

Setelah mendengar penjelasan bapak. Diam-diam ibu membenarkan ucapan suaminya itu. Barangkali benar bahwa penyebab itu bisa terjadi di luar proses persalinan ketika ibu terpeleset jatuh di kamar mandi.

Kendati demikian, aku tumbuh seperti anak-anak yang lain. Kondisiku tak memengaruhi kehidupan sosialku. Aku masih bisa beradaptasi dengan lingkungan sekeliling yang kutemui. Namun, tak seperti lingkungan di sekolah. Di sekolah aku merasa tertekan.

Lingkungan sekolah yang amat kaku mematikan kebebasanku. Sekolah bukan tempat yang tepat bagiku. Saking muaknya berada di sekolah, aku mencari suatu cara agar dikeluarkan dari sekolah. Jalan satu-satunya, yakni berlaku kurang ajar kepada guruku dengan membogem hidung beliau hingga berdarah. Disamping aku menaruh dendam kepada beliau karena beliau pernah menghukumku karena aku tak mengerjakan PR.

"Anak kurang ajar! Otakmu kau taruh mana, hah?!"

"Pak guru mau lihat otak saya?"

Nyaris kalimat itu meluncur dari mulutku sembari tanganku merogoh tas sekolah untuk mengambil tang dan obeng. Lantas segera kuingat pesan orang tuaku. Alangkah baiknya aku menutup mulut dan tak memberitahukan keadaaanku ini kepada siapapun. Orang tuaku khawatir dunia akan gempar dan aku menjadi pusat perhatian karenanya. Terutama negara akan memanfaatkan kondisiku untuk kepentingan mereka.

Benar saja, setelah kejadian itu, kabarnya aku dikeluarkan dari sekolah. Segera saja kabar baik itu kusambut dengan senang hati. Meski tengah menjalani operasi bedah saraf lantaran batok kepalaku melengse akibat ditempeleng Pak Guru. Sebagai gantinya, orang tuaku memutuskan aku untuk homeschooling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun