Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ibu Kota Indonesia Pindah, Perlukah Memindahkan One Stop Service Bidang Narkoba?

10 Mei 2019   04:28 Diperbarui: 10 Mei 2019   13:19 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi : Pemindahan Ibu Kota juga dapat memindahkan one stop service bidang narkoba I Sumber foto : pixabay

Dalam sepekan terakhir pemberitaan menyangkut pemindahan ibu kota negara kita Indonesia begitu marak. Berbagai pemberitaan ini ada sebab yakni ucapan dan kunjungan langsung Presiden RI,Joko Widodo ke Kalimantan tempat dimana calon ibu kota baru akan bertempat. 

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro memastikan ibu kota baru yang tengah dikaji tidak didesain sebesar Jakarta. Bahkan, menurut dia, secara skenario ibu kota baru dirancang hanya dihuni untuk 900 ribu sampai 1,5 juta penduduk.

Hal tersebut disampaikan oleh Pak Menteri Bambang dalam diskusi media di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Senin (6/5/2019). Beliau menjelaskan, jumlah penduduk ibu kota baru nanti tak masuk dalam 10 kota dengan penduduk terbesar di Tanah Air.

Nantinya pemerintah menfokuskan membuat ibu kota baru sebagai pusat pemerintahan dan dapat menumbuhkan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Pusat pemerintahan memiliki nilai ekonomi yang tak kecil yang akan bisa kemudian menjadi faktor yang menumbuhkan ekonomi di sekitar wilayah ibu kota baru tersebut.

Bila ibu kota Negara pindah apakah One Stop Service di bidang napza/narkoba seperti Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta harus pindah juga!

Pendapat saya sebagai seseorang yang berkerja di RSKO Jakarta menyatakan TIDAK/JANGAN, tetapi sebaiknya membentuk yang baru disana. 

Kenapa begitu? Karena RSKO Jakarta merupakan faskes bidang napza/narkoba pertama berdiri dan tertua di Indonesia dengan nama awal DDU (Drug Dependence Unit) pada tahun 1972. Selain itu Pulau Jawa yang berpenduduk lebih dari 140 juta jiwa membutuhkan layanan kesehatan dibidang napza/narkoba ini. 

Memang dalam setahun terakhir isu kepindahan RSKO Jakarta kencang terdengar. Pemindahan ini karena bangunan dan lokasi saat ini sudah tidak representatif sebagai rumah sakit rujukan nasional di bidang napza/narkoba. 

Baca Juga : RSKO Jakarta Isu Pindah

Tidak hanya itu saja, pemindahan ini juga diakibatkan karena belum ketemu titik temu/solusi atas kepemilikan tanah di atas bangunan RSKO Jakarta yang terletak di Jalan Lapangan Tembak no.75, kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Tanah seluas 1,7 hektar. Dimana tanah tersebut masih dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta, sedangkan bangunan Kementerian Kesehatan RI.

Memang untuk sekelas Rumah Sakit Type B dan wacananya akan meningkat menjadi Type A luas tanah 1,7 hektar terbilang kurang, minimal sebagai rumah sakit dengan pasien yang tidak hanya bed rest ada baiknya minimal memiliki tanah seluas 5 hektar. Itu kenapa ada wacana untuk memindahkan RSKO Jakarta sama seperti pemindahan ibu kota Negara. 

Wacana yang saat ini didengar oleh seluruh pegawai RSKO Jakarta ialah ke Tangerang dekat Bandara Soekarno Hatta yang berjarak 44 km dari RSKO Jakarta. Untuk itu pegawai RSKO Jakarta menjuluki kepindahan ini bila terjadi "kita pindah ke BELANDA (Belakang Bandara)".

Sebelum wacana pindah ke Tangerang, RSKO Jakarta ada wacana dipindahkan ke salah-satu fasilitas Kemenkes di Salemba yang berjarak 25 km dari RSKO Jakarta. Luas tanah calon tempat pemindahan lebih kecil dari luas tanah RSKO Jakarta, hanya sekitar 1,5 hektar bahkan yang disiapkan 1 hektar saja. Bisa dibilang luas tanah tersebut kurang cukup.

---------------------------------

Buat daku (saya) bila ibu kota Negara pindah ke lokasi lain diluar Jawa, perlu dibentuknya layanan kesehatan dibidang napza di sana. Sebagai warga negara yang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari Hak Asasi Manusia. 

Narkoba merupakan masalah bangsa saat ini. Dilansir dari okezone.com (di sini) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari 87 juta populasi anak di Indonesia, sebanyak 5,9 juta di antaranya menjadi pecandu narkoba. Mereka jadi pecandu narkotika karena terpengaruh dari orang-orang terdekat. 

Deskripsi : Narkoba merusak Generasi I Sumber Foto : Pixabay.com
Deskripsi : Narkoba merusak Generasi I Sumber Foto : Pixabay.com
KPAI menyebutkan menangani 2.218 kasus terkait masalah kesehatan dan napza yang menimpa anak-anak. Sebanyak 15,69 persen di antaranya kasus anak pecandu narkoba dan 8,1 persen kasus anak sebagai pengedar narkoba. 

Menurut daku lebih baiknya di ibu kota baru dibuat Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) Bidang Narkoba tidak berbentuk rumah sakit. Bila berbentuk rumah sakit maka akan menjadi dilema seperti yang dirasakan oleh RSKO Jakarta. 

Buat daku yang pernah bertugas di unit rehabilitasi narkoba sebagai penyuluh kesehatan dan fasility support (pengawas fasilitas), daku melihat terjadi benturan antara layanan/program pemulihan pecandu narkoba dengan mencari profit rumah sakit. 

Sebagai rumah sakit maka RSKO Jakarta juga harus memenuhi akreditasi dengan persyaratan rumah sakit. Maka secara tidak langsung RSKO Jakarta harus menyesuaikan dengan persyaratan fasilitas dan layanan Rumah Sakit. Berujung akan mengurangi porsi anggaran sebagai one stop service di bidang narkoba/napza baik dari sisi fasilitas, layanan dan anggaran. (bisa lihat di sini)

Untuk itu daku berpendapat sebaiknya di ibu kota baru faskes bidang narkoba/napza berbentuk Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) Bidang Narkoba atau Balai Rehabilitasi di Bidang Narkoba, karena narkoba sudah menjadi masalah utama bangsa jadi perlu ada layanan penanganannya di pusat pemerintahan. 

Menurut daku, RSKO Jakarta tetap ada di Pulau Jawa dan tetap berbentuk sebagai rumah sakit. Konsep hospital base di bidang narkoba harus tetap ada menjadi salah-satu konsep pendekatan.

Akan banyak keleluasaan bila menjadi UPK atau Balai Rehabilitasi bidang narkoba. Yang pasti akan lebih serius/concern/perhatian terhadap layanan di bidang narkoba seperti mengurangi layanan kesehatan yang tidak berhubungan dengan pendekatan bidang narkoba/napza . Keilmuan pendidikan dan penelitian akan makin berkembang. 

Daku mengharapkan ada Profesor dan Doktor bidang narkoba/napza di RSKO Jakarta (one stop service bidang narkoba/napza ), saat ini daku belum mendengar ada atau mungkin daku tidak tau.

Keilmuan bidang narkoba/napza seperti pendukung medis lainnya akan ikut berkembang seperti laboratorium, toksikologi, psikologi, konseling, pekerja sosial, keperawatan, kesehatan masyarakat, fisioterapi, informasi teknologi, dan lainnya. Tidak hanya ilmu tetapi program yang dijalankan dalam tahap pemulihan bebas dari sisi hitung-hitungan finansial untung/ rugi. 

Pengembangan teknologi bidang narkoba baik peralatan laboratorium atau teknologi pendukung akan lebih diutamakan. Ketika berbentuk rumah sakit maka akan banyak fasilitas layanan lainnya yang menyerap anggaran.

Selain itu dengan berbentuk rumah sakit maka akan terjerat peraturan rumah sakit yang mengharuskan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Namanya BLU maka money oriented akan tetap ada dalam pengelolaan keuangannya, sehingga memaksa manajemen rumah sakit berpikir keras mencari solusi meningkatkan pendapatan. 

Ini bukan salah yang terpilih menjadi direksi dan manajemen karena ini memang menjadi tuntutan BLU. Hal ini akan berujung menambah layanan lain di luar bidang narkoba/napza yang dapat menghasilkan uang yang banyak untuk memberikan kesejahteraan bagi pegawai.

Banyak orang kira PNS itu remunerasinya dari pemerintah, ada benar tapi perlu sedikit ditambahkan. Untuk PNS yang bekerja di Rumah Sakit Pemerintah remunerasi (Pay For Performance 'insentif' dan Pay For People) tidak berasal dari APBN tetapi dari pendapatan BLU. 

Bila pendapatan rumah sakitnya kecil maka pendapatan remunerasinya ikut kecil, tidak akan sama dengan Remunarasi APBN. Yang perlu disadari, ini dapat berujung pegawainya akan mendapati alasan bisa mencari penghasilan lain diluar. 

UPK atau Balai Rehabilitasi Narkoba ada baiknya tidak berstatus BLU bila memang dibuat di ibu kota Negara yang baru. Sebaiknya disubsidi negara secara penuh sama seperti panti rehabilitasi di Kementerian Sosial atau Lapas di Kemenkumham. Sehingga direksi dan manajemen tidak perlu pusing mencari penghasilan berupa layanan lain. 

Hadirnya layanan lain, mau tidak mau akan membuat perhatian terbelah dan ke depannya layanan lain tersebut perlu juga di upgrade fasilitas yang berujung mengambil jatah anggaran. Yang pasti juga pembengkakan SDM dan struktur organisasi. 

___________________________________________

Tulisan ini berupa opini dan pendapat saja dari orang udik yg pernah berkerja di unit rehabilitasi narkoba, bukan pula seorang pakar.

Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto

Blog [ DISINI ] , Twitter [ DISINI ] , Instagram [ DISINI ]

Email : mastiyan@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun