Mohon tunggu...
Rakhmasari Kurnianingtyas
Rakhmasari Kurnianingtyas Mohon Tunggu... Lainnya - Mencoba melukis cerita lewat aksara

belajar dari mendengarkan dan melihat

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kapan Sinetron Indonesia Seperti Drama Korea?

12 April 2022   21:00 Diperbarui: 15 April 2022   22:32 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Drama Korea (Foto : Soompi via Kompas.com)

Akhir minggu kemarin saya menghabiskan waktu dengan menonton drama Korea. Kegiatan yang sudah lumayan lama tidak saya lakukan. Saya memilih menonton satu serial yang sudah ditayangkan sampai tamat. 

Ada dua tipe penonton drama Korea, yaitu yang selalu penasaran menunggu episode baru tiap minggunya dan tipe yang satunya lagi adalah menunggu sampai tamat baru menonton secara maraton. Ini dua tipe yang merupakan penggemar berat. 

Bagi yang sekedar menonton sebagai hiburan, tentu saja menikmatinya sesuai mood dan tanpa dikejar rasa penasaran atau target menonton sampai selesai.

Menonton drama Korea bagi saya bukan sekedar menikmati seni peran. Tapi menikmati suatu fase kehidupan seseorang yang dituangkan dalam skenario yang indah dan menyihir. Banyak ilmu yang saya dapat tanpa saya sadari dari kegemaran menonton drama Korea ini.

Sebenarnya antara sinetron Indonesia dan drama Korea ada kesamaan. Keduanya bisa membuat penikmatnya menunggu episode selanjutnya dan terbawa emosi. 

Lihat saja sinetron Indonesia yang bisa sampai berjilid-jilid. Kalau tidak punya penggemar fanatik tentu televisi tidak berani ambil risiko untuk menayangkan di prime time. 


Sangat disayangkan bahwa penonton sinetron Indonesia yang sebegitu banyaknya tidak disuguhi tontonan yang mengedukasi. Entah kenapa dengan nama besar drama Korea yang sudah mendunia, para produser tidak tertarik untuk mengadaptasi ilmu per-drakoran diterapkan ke sinetron Indonesia. 

Ilustrasi Sinetron Indonesia ( Foto : Dokumen RCTI via Kompas.com)
Ilustrasi Sinetron Indonesia ( Foto : Dokumen RCTI via Kompas.com)
Sinetron Ikatan Cinta yang masih tayang sampai sekarang dan menyentuh angka 650 lebih episode, pada awal kemunculannya telah digadang-gadang sebagai drama Korea versi Indonesia. Namun pada kenyataannya semakin kesini kembali ke aura sinetron Indonesia yang berkembang tidak jelas sampai para tokoh utamanya pun melontarkan kritik dan merasa bosan.

Lantas apa yang membedakan sinetron Indonesia dan drama Korea?

Sejauh pengamatan saya bisa disimpulkan beberapa hal:

Jumlah episode
Drama Korea sudah ditentukan jalan ceritanya sampai selesai. Mereka tidak pernah mengikuti permintaan pasar untuk menambah episode walaupun rating tertinggi berhasil diraih. Beda dengan sinetron Indonesia yang kejar tayang.

Cerita sinetron Indonesia bisa berkembang menyesuaikan selera penonton. Bahkan seseorang yang diceritakan sudah meninggal bisa tiba-tiba muncul kembali. Atau seseorang yang mengalami amnesia agar bisa memperpanjang episode dengan menambah cerita baru.

Jalan cerita
Sinetron Indonesia menyuguhkan cerita yang panjang dan berbelit-belit. Akan banyak tokoh baru bermunculan dan saling berhubungan. Banyak sekali kebetulan yang terjadi. Si ini ternyata anaknya si itu. Si dia ternyata mantan pegawainya bapak itu. Dan banyak lagi kebetulan yang sepertinya kalau di dunia nyata mustahil terjadi.

Drama Korea tidak menyuguhkan banyak pemeran inti. Tokoh utama hanya dibantu beberapa peran pembantu yang menghidupkan cerita tanpa menyamarkan cerita pokoknya. Hal ini akan membawa penonton lebih fokus dan tidak terpecah emosinya.

Latar belakang profesi
Yang menarik dari drama Korea adalah mereka memberikan informasi yang berharga tentang latar belakang profesi tokoh utama dalam ceritanya. 

Dalam suatu cerita tentang dokter, ilmu kedokteran mereka selipkan dengan porsi yang besar. Bukan sekedar pemanis adegan dengan tokohnya memakai pakaian dokter. Tetapi adegan yang berhubungan dengan profesi dokter secara riil, demikian juga istilah-istilah kedokteran yang cukup bermanfaat.

Begitupun dengan profesi lain. Cerita tentang lawyer, designer, olahragawan, penegak hukum dan profesi non formal mereka gambarkan dengan kenyataan sebenarnya yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Segala perjuangan mereka dalam menjalankan profesi digambarkan dengan utuh dan informatif.

Sinetron Indonesia tidak pernah menggambarkan jenis profesi tertentu secara mendalam dan memberi pengetahuan yang bermanfaat buat penontonnya walaupun hanya sedikit. 

Mereka hanya menggambarkan dari dialog dan kostum yang mendukung. Padahal hal-hal semacam itu bisa sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir penonton daripada sekedar konflik yang berputar tidak jelas.

Karakter pemain
Adegan dalam sinetron Indonesia terlalu lebay menggambarkan karakter tokoh-tokohnya. Tokoh antagonis akan selalu jahat bahkan dalam keseharian mereka saat tidak melakukan kejahatan. Sedangkan tokoh protagonis akan selalu teraniaya dan bernasib sial sepanjang hidupnya.

Adegan seperti itu tidak ditampilkan dalam drama Korea. Mereka menyajikan sisi baik dan buruk secara seimbang. Tokoh jahat akan baik sesekali, dan tokoh baik ada sisi buruknya yang tidak ditutupi. Semuanya normal selayaknya kita dalam kehidupan nyata. 

Adegan jahat disajikan halus tanpa close up tokohnya saat melotot diiringi musik yang mengagetkan. Sebaliknya tokoh baik tidak digambarkan selalu menangis.

Lantas mengapa sinetron Indonesia masih bertahan menyuguhkan tontonan yang seperti itu? Sederhana sih, mereka hanya mengikuti selera pasar. 

Penonton sinetron umumnya adalah masyarakat atau tepatnya ibu-ibu golongan menengah ke bawah. Mereka adalah penonton fanatik yang menguasai pesawat televisi di jam sinetron tayang.

Masyarakat Indonesia yang masih banyak kalangan menengah ke bawah dengan tingkat pendapatan yang pas-pasan tidak mempunyai pilihan hiburan lain kecuali televisi. Untuk berlangganan tv kabel yang menyuguhkan tontonan alternatif yang lebih berkualitas mereka masih memiliki banyak pertimbangan lain.

Jadi, sinetron Indonesia tetap memiliki penggemar fanatik yang mendatangkan keuntungan finansial banyak pihak yang terlibat. 

Sinetron di prime time tentu menjadi rebutan iklan-iklan besar. Simbiosis mutualisme antara produser sinetron, stasiun televisi yang menyiarkan, para pemain yang harus menekan perasaan bosan dan para pemasang iklan menjadi kesatuan yang erat.

Karakter masyarakat Indonesia yang cenderung kepo juga menjadi faktor pendukung mengapa sinetron dengan cerita yang berbelit, dramatis dan penuh tragedi tetap menjadi idola. 

Dan pada akhirnya memang kembali ke selera masing-masing. Walaupun tentu saja kita berharap suatu saat akan lebih banyak tontonan yang mengedepankan pendidikan moral dapat kita nikmati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun