Ia seperti film art-house yang lambat dan reflektif. Bahkan kadang bikin pembaca bertanya, "Ini maksudnya apa?". Tapi justru di sanalah letak kekuatannya.
Seperti film The Shape of Water, artikel ini menggabungkan kritik sosial dengan narasi yang tajam. Ia tidak mengejar klik, tapi mengejar makna. Ia jarang memancing emosi, tapi mengajak berpikir. Dan kadang, ia terlalu jujur untuk jadi viral.Â
Penulis Headline Festival adalah sutradara yang tidak takut eksperimentasi. Ia menulis bukan untuk algoritma, tapi untuk pembaca yang mau bertahan sampai akhir.
Jadinya dampak dari Headline Festival bukan sekadar soal jumlah klik, tapi juga soal dampak intelektual dan estetika.
Yang menarik, di Kompasiana dua dunia ini bisa bertemu. Ada artikel yang viral dan jadi headline. Seperti film Everything Everywhere All At Once-komersial, absurd, tapi juga menang Oscar. Sebuah momen langka, tapi sangat mungkin terjadi ketika penulis berhasil menjembatani antara selera publik dan standar kurasi.
Artikel saya contohnya (maaf narsis, biar mengurangi risiko iri dan dengki, jadi pakai artikel sendiri saja, haha).
Tulisan saya soal penyebab orang tidak lagi ke karaoke, saya buat sebagai respons pedangdut Inul Daratista yang protes kenaikan pajak hiburan. Isu ini viral dan dijadikan Topik Pilihan Kompasiana.
Tapi saya tidak menulis dari sisi hukum ataupun kontroversi aturannya. Melainkan dari sisi pengalaman pribadi sebagai ketua komunitas karaoke di Bandung yang sudah malang melintang dari karaoke keluarga satu ke karaoke yang lain. Ahaay.
Alhasil, tulisan yang dibuat pada Januari 2024 ini ternyata berhasil tembus lebih dari 50 ribu pembaca. Dan menurut data kilas balik 2024 yang disediakan Kompasiana, artikel yang terpilih sebagai Artikel Utama tersebut nangkring di posisi 4 "Headline Terpopuler" sepanjang 2024.Â
Wow!!! (ekspresi kaget ala-ala pemenang Oscar). Â