Atau kemunculan Asri Welas yang seringkali dijadikan bahan pemancing tawa. Apakah kamu berharap ketika menonton film yang ia bintangi, Asri Welas akan jadi nyonya kaya yang serius? 'kan tidak.
Jadinya, memilih aktor yang sudah terbukti cocok dengan tipe peran tertentu bukan sekadar kebiasaan, tapi strategi bisnis yang efisien. Dan mungkin juga sebagai bentuk kontrol produser untuk menciptakan formula yang bisa diulang, diuji, dan dijual.Â
Racun bagi kreativitas?
Menurut hemat saya, typecasting membuat aktor seperti mesin fotokopi. Mereka diminta mengulang versi yang sama, hanya dengan latar berbeda. Padahal, di balik wajah yang sudah akrab di layar, ada kemampuan yang belum sempat diuji.Â
Seorang aktor boleh jadi punya potensi komedi, tapi terus-terusan diminta menangis. Atau sebaliknya, punya kedalaman dramatis, tapi hanya dipakai untuk melucu. Akhirnya, mereka bukan berkembang, tapi bertahan dan menyesuaikan diri dengan ekspektasi pasar, bukan tantangan artistik.
Lebih parahnya lagi, ketika aktor mencoba keluar dari zona typecasting, responsnya sering tidak ramah. Penonton bingung, produser ragu, dan media bertanya, "Kok beda?". Seolah-olah aktor tidak boleh punya spektrum emosi, hanya satu warna yang sudah disetujui industri.Â
Semisal kalau saya sebagai produser ingin mencari karakter seorang ibu yang memiliki anak dengan keadaan ekonomi masyarakat kelas bawah, pastilah Cut Mini ada di urutan pertama. Sebaliknya, jika ingin mencari karakter serupa tapi dengan keadaan ekonomi masyarakat kelas menengah ke atas, Ira Wibowo bisa jadi bahan pertimbangan utama.Â
Kenapa nggak coba dibalik?
Atau ingin mencari karakter cowok red flag yang suka mempermainkan wanita, nama Giorgino Abraham dan Jefri Nichol pasti terlintas. Sebaliknya untuk karakter cowok soleh nan alim, boleh jadi Dude Harlino yang muncul pertama kali di pikiran.Â
Hal tersebut memang tidak akan membuat sang aktor merasa rugi terutama dari sisi finansial. Karena seenggaknya, mereka sudah berada di daftar teratas casting director untuk karakter-karakter tertentu. Tapi ia bisa jadi racun bagi kreativitas. Ia membuat aktor berjalan di tempat.
Dan kalau industri ingin benar-benar tumbuh, mungkin sudah waktunya berhenti melihat aktor sebagai template, dan mulai melihat mereka sebagai seniman yang layak diberi ruang untuk bereksperimen, gagal, dan bersinar.