Yang paling menarik tentunya penggunaan bahasa Sunda dengan logat Sukabumi yang khas. Meskipun Sunda adalah bahasa ibu dari kebanyakan warga yang tinggal di Jawa Barat, setiap daerah di Jawa Barat punya dialek khasnya masing-masing.
Coba bandingkan saja, dialek Sunda masyarakat Sukabumi pasti berbeda dengan dialek Sunda masyarakat Tasikmalaya misalnya.
Perpaduan antara cerita, karakter, set, hingga bahasa yang digunakan, menjadikan Panggil Aku Ayah terasa sangat melokal meskipun merupakan adaptasi dari film luar negeri.
Deretan pemain yang solid
Ringgo Agus Rahman yang berduet dengan Boris Bokir (berperan sebagai Tatang) sebagai penagih utang, mampu menghadirkan gelak tawa meriah dengan logat Sunda mereka. Ditambah pemain cilik Pemain cilik Myesha Lin pun bisa mencuri perhatian dengan tingkahnya yang lucu, gemes, walau terkadang ngeselin.
Kehadiran mereka bertiga adalah sumber bahagia yang mampu membuat saya merasa berada dalam kehidupan mereka. Berkali-kali dibuat ngakak, kemudian menangis, setiap kali adu peran mereka muncul di layar.
Sayangnya, emosi yang sudah ditanamkan dengan begitu apiknya, seketika buyar ketika film sudah mencapai tiga perempat bagian. Tiba-tiba Intan sudah dewasa dan perannya dimainkan oleh Tissa Biani. Â Â
Jujur saja, perpindahan emosi dari Myesha Lin ke Tissa Biani tidak terlalu koheren. Bukan, bukan karena permainan mereka kurang baik, tapi karena film tidak membagi porsi keduanya secara seimbang.Â
Porsi Tissa Biani hanya seperempat akhir film saja. Padahal boleh saya simpulkan sudut pandang utama Panggil Aku Ayah adalah tentang Dedi dan Intan dewasa. Sayangnya film malah terlalu asyik berlama-lama dengan Intan kecil dan kurang mengeksplorasi karakter Intan dewasa.
Bagaimanapun juga, ketika satu karakter dimainkan oleh lebih dari satu aktor, akan butuh waktu lagi bagi penonton untuk terkoneksi dengan karakter tersebut.